antara
BANDUNG (bisnis-jabar): Pemerintah
Provinsi Jawa Barat akan membangikan 100 alat pencacah sampah kepada sejumlah
kelompok masyarakat pengelola sampah lingkungan. Bantuan tersebut diharapkan
mampu mengurangi permasalahan sampah.
Menurut Kepala Dinas Permukiman dan
Perumahan Jawa Barat Edi M Nasution alat pencacah sampah itu mampu memproses
limbah organik maupun sampah plastik dan kertas sebanyak 20 hingga 50 kilogram
per jam. “Dan dapat digunakan selama 24 jam tanpa henti,” katanya.
Ke depan menurutnya, sesuai dengan
petunjuk Gubernur, pihaknya berencana membagikan alat ini kepada kelompok
masyarakat yang sudah memiliki pengelola sampah. “Paling tidak sekitar 100
unit,” katanya dalam rilis yang diterima bisnis-jabar.
Pengadaan alat tersebut juga akan
melibatkan pengrajin alat kecil menengah. Dinas Kimrum, ujar Edi akan
memberikan pendampingan atau pelatihan penggunaan alat kepada pengelola sampah.
Satu alat pencacah sampah sendiri sudah
diserahkan pada SD BPI Halimun yang memiliki ekstrakulikuler pengelolaan
sampah. Menurut Kepala Sekolah Dyah Arianti alat tersebut sangat berguna dalam
memberikan pembelajaran kepada para siswa dalam mengelola sampah. Lebih dari
itu dengan alat pencacah sampah, dapat mengurangi volume penyimpanan sampah.
“Dengan demikian semakin meningkatkan
daya tampung bank sampah yang selama ini sudah ada di SD BPI Halimun,” katanya.
(ajz)
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof.
Dr. Armida S. Alisjahbana, telah menerima kunjungan kehormatan Managing
Director General of the ADB (Asian Development Bank), Mr. Rajat M. Nag, yang
disertai oleh antara lain oleh Prof. Iwan Jaya Aziz, dan Mr. Ashok Sharma,
Senior Director of the ADB. Menteri PPN disertai oleh antara lain Wamen
PPN/Wakil Kepala Bappenas, Dr. Ir. Lukita D. Tuwo, MA, Sesmen PPN/Sestama
Bappenas, Dr. Slamet Seno Adji, MA, Deputi Bappenas Bidang Pendanaan
Pembangunan, Ir. Wismana Adi Suryabrata, MIA, Deputi Bidang Infrastruktur dan
Pembangunan Regional Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Dr. Luky Eko
Wuryanto, dan Staf Ahli Kementerian PPN Bidang SDM dan Penanggulangan
Kemiskinan, Dr. Ir. Imron Bulkin, MRP. Pertemuan diadakan di Ruang Tamu Menteri
dan berlangsung dari pukul 09.30 sampai dengan pukul 10.05 WIB. Pertemuan ini
dilanjutkan dengan penyelenggaraan Seminar tentang Asia 2050, Realizing the
Asian Century, yang diadakan di Ruang Serba Guna 1-2.
Pada pertemuan di Ruang Tamu Menteri, Mr. Rajat M. Nag mengatakan bahwa prioritas Country Partnership Strategy ADB telah sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia. Mr. Nag menambahkan bahwa ADB juga mendukung upaya Indonesia untuk menurunkan kemiskinan maupun untuk membangun infrastruktur melalui skim PPP. Dalam hal PPP, Mr. Nag mengatakan bahwa disadari kendala utamanya saat ini adalah akuisisi lahan untuk pembangunan infrastruktur publik tersebut. Dilain pihak, Mr. Nag mengingatkan, agar Indonesia dapat dengan bijak menseimbangkan kepentingan publik dengan kepentingan dunia usaha.
Pada sesi seminar di Ruang Serba Guna, Mr. Ashok Sharma menyampaikan dua skenario Asia 2050, yaitu skenario “The Asian Century” dengan PDB Asia mencapai USD 148 triliun, dan skenario “The Middle Income Trap” ketika PDB Asia mencapai hanya USD 61 triliun. Untuk mencapai skenario pertama dan menghindari skenario kedua, negara-negara Asia perlu menempuh beberapa kebijakan yang utamanya sebagai berikut: mengupayakan ‘inclusive growth’, menanggulangi masalah perubahan iklim, dan meningkatkan perbaikan ‘governance’ dan ‘institution building’.
Menteri PPN menyampaikan bahwa Indonesia telah jauh hari menempuh berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain: kebijakan untuk menjamin pembangunan yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia; kebijakan untuk mengurangi kemiskinan melalui pendekatan 4 kluster; kebijakan perluasan program jaminan sosial; kebijakan reformasi birokrasi; kebijakan ‘debottlenecking’ yang menyangkut tidak saja pembangunan infrastruktur secara fisik tetapi juga menyangkut upaya mengurangi hambatan pada kegairahan dunia usaha untuk berinvestasi yang disebabkan oleh peraturan yang berlebihan; kebijakan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim; dan kebijakan untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional, melalui berbagai forum seperti ASEAN, APEC, dan PBB, dan melalui penjalinan kerjasama Selatan-Selatan maupun melalui kerjasana trilateral.
Pada pertemuan di Ruang Tamu Menteri, Mr. Rajat M. Nag mengatakan bahwa prioritas Country Partnership Strategy ADB telah sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia. Mr. Nag menambahkan bahwa ADB juga mendukung upaya Indonesia untuk menurunkan kemiskinan maupun untuk membangun infrastruktur melalui skim PPP. Dalam hal PPP, Mr. Nag mengatakan bahwa disadari kendala utamanya saat ini adalah akuisisi lahan untuk pembangunan infrastruktur publik tersebut. Dilain pihak, Mr. Nag mengingatkan, agar Indonesia dapat dengan bijak menseimbangkan kepentingan publik dengan kepentingan dunia usaha.
Pada sesi seminar di Ruang Serba Guna, Mr. Ashok Sharma menyampaikan dua skenario Asia 2050, yaitu skenario “The Asian Century” dengan PDB Asia mencapai USD 148 triliun, dan skenario “The Middle Income Trap” ketika PDB Asia mencapai hanya USD 61 triliun. Untuk mencapai skenario pertama dan menghindari skenario kedua, negara-negara Asia perlu menempuh beberapa kebijakan yang utamanya sebagai berikut: mengupayakan ‘inclusive growth’, menanggulangi masalah perubahan iklim, dan meningkatkan perbaikan ‘governance’ dan ‘institution building’.
Menteri PPN menyampaikan bahwa Indonesia telah jauh hari menempuh berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain: kebijakan untuk menjamin pembangunan yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia; kebijakan untuk mengurangi kemiskinan melalui pendekatan 4 kluster; kebijakan perluasan program jaminan sosial; kebijakan reformasi birokrasi; kebijakan ‘debottlenecking’ yang menyangkut tidak saja pembangunan infrastruktur secara fisik tetapi juga menyangkut upaya mengurangi hambatan pada kegairahan dunia usaha untuk berinvestasi yang disebabkan oleh peraturan yang berlebihan; kebijakan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim; dan kebijakan untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional, melalui berbagai forum seperti ASEAN, APEC, dan PBB, dan melalui penjalinan kerjasama Selatan-Selatan maupun melalui kerjasana trilateral.
(Humas)
Konsolidasi Tanah: Mewujudkan Pembangunan
Tanpa Penggusuran
Ketidakseimbangan laju pertumbuhan
penduduk dengan kebutuhan akan tanah telah lama menjadi masalah yang cukup
memusingkan Pemerintah. Permasalahan akan semakin terlihat dengan jelas ketika
upaya penyediaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan sektor: Perumahan, Pertanian
dan Kegiatan Usaha serta Infrastruktur lingkungan yang tidak memadai.
Inilah salah satu kondisi pemicu tumbuh
suburnya permukiman kumuh atau slum area di wilayah perkotaan (baik di
tengah-tengah maupun di pinggiran kota), lokasi kegiatan usaha yang semrawut
serta lokasi pertanian tradisional yang minim sarana prasarana.
Jika dilihat dari sisi pertanahan, yang
menjadi akar penyebab munculnya kondisi seperti ini adalah karena faktor
kepemilikan tanah yang tidak teratur, baik luas, bentuk, batas maupun letak
posisi tanah di atas permukaan bumi. Untuk menata kondisi seperti ini banyak
cara yang dapat ditempuh, misalnya melalui pembebasan tanah, akan tetapi
kegiatan pembebasan tanah memerlukan dana yang tidak sedikit, proses yang
berbelit dan waktu yang cukup lama. Berdasarkan akar masalah tersebut di atas,
maka kegiatan konsolidasi tanah dianggap sebagai salah satu alternatif pilihan
yang cukup ideal.
Konsolidasi Tanah.
Pada prinsipnya, Konsolidasi Tanah merupakan salah satu alat untuk melakukan penataan wilayah (perkotaan maupun perdesaan) yang minim atau miskin sarana dan prasarana menjadi sebuah wilayah yang dilengkapi dengan sarana-prasarana yang ideal serta selaras dengan tata ruang.
Pada prinsipnya, Konsolidasi Tanah merupakan salah satu alat untuk melakukan penataan wilayah (perkotaan maupun perdesaan) yang minim atau miskin sarana dan prasarana menjadi sebuah wilayah yang dilengkapi dengan sarana-prasarana yang ideal serta selaras dengan tata ruang.
Sebagaimana definisi Konsolidasi Tanah
yang dijelaskan dalam penjelasan pasal 11 PP No.13 Tahun 2010, “Konsolidasi
Tanah adalah Kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) sesuai RTR Wilayah serta
usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan, dalam rangka meningkatkan
kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan
partisipasi aktif masyarakat.“
Sesuai dengan motto Konsolidasi Tanah
“Membangun Tanpa Menggusur“, kegiatan penataan melalui konsolidasi tanah tidak
menggusur masyarakat keluar dari lingkungan huniannya, masyarakat tetap tinggal
dalam lingkungannya sehingga benar-benar ikut menikmati pembangunan. Hal ini
tentunya selaras dengan salah satu prinsip Covenant International 2005, yang
disahkan melalui UNDP – PBB, Masyarakat tidak boleh digusur keluar dari
lingkungan huniannya secara paksa dan sewenang-wenang.
Kegiatan penataan yang dilakukan dalam
konsolidasi tanah terhadap bidangbidang tanah yang bentuk, luas dan letaknya
tidak teratur dilakukan berbagai cara, di antaranya: memotong, menggeser,
memindahkan, memecah, menggabungkan, menukarkan dan menghapuskan–sehingga
dihasilkan:
1.Bentuk bidang tanah baru, yang lebih
rapih, teratur, tertib dan memiliki akses jalan, yang selanjutnya diserahkan
kembali kepada pemilik tanah disertai Sertifikat Hak atas Tanah yang baru.
2.Tanah-tanah sumbangan pemilik tanah,
disebut STUP (Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan – yang luasnya disepakati
bersama). Sebagian dari STUP digunakan untuk lokasi sarana dan prasarana berupa
fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas umum (Fasum) berupa : jalan, selokan,
tempat ibadah, sekolah, taman, puskesmas dan lain sebagainya. Sebagian lainnya
dipakai untuk TPBP (Tanah Pengganti Bea Pembangunan) berupa bidang-bidang
(kapling) tanah matang, yang siap pakai, yang akan diserahkan kepada masyarakat
pemilik tanah yang luasnya paling kecil, atau pihak lain dengan membayarkan
dana kompensasi TPBP. Dana kompensasi TPBP selanjutnya akan dipakai untuk
membiayai pembangunan infrastruktur yang dihasilkan dalam penataan.
Di Indonesia Konsolidasi Tanah
dilaksanakan untuk pertama kalinya pada Tahun 1981, berupa konsolidasi tanah
perkotaan di Renon - Bali, dan selanjutnya menyebar ke Propinsi lainnya. Hingga
saat ini hampir seluruh Propinsi telah dilaksanakan Konsolidasi Tanah kecuali
DKI Jakarta, dengan hasil lihat gambar 3 (berdasarkan data SIKONTAN–Direktorat
Konsolidasi Tanah BPN RI, Tahun 1980 – 2009 ).
Dasar Pelaksanaan
Secara taktis operasional pelaksanaan Konsolidasi Tanah berada langsung di daerah, serta dilaksanakan oleh Tim Kendali (Tingkat provinsi di bawah Pembinaan Gubernur), Tim Koordinasi (Tingkat Kabupaten/Kota diketuai oleh Bupati/Walikota) yang dibantu oleh Tim SATGAS (Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota) sedangkan Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI bertanggung jawab dari sisi pembinaan teknis administrasi.
Secara taktis operasional pelaksanaan Konsolidasi Tanah berada langsung di daerah, serta dilaksanakan oleh Tim Kendali (Tingkat provinsi di bawah Pembinaan Gubernur), Tim Koordinasi (Tingkat Kabupaten/Kota diketuai oleh Bupati/Walikota) yang dibantu oleh Tim SATGAS (Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota) sedangkan Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI bertanggung jawab dari sisi pembinaan teknis administrasi.
Sejak awal hingga sekarang, pelaksanaan
operasional konsolidasi tanah di Indonesia berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah beserta
seperangkat Petunjuk Pelaksanaan-nya (Juklak).
Tentunya, pelaksanaan konsolidasi tanah
bukan tanpa alasan, sebab pelaksanaannya berlandaskan pada azas kebermanfaatan
bersama. Adapun manfaat konsolidasi tanah dapat dinikmati manfaatnya oleh
pemerintah daerah (Pemda) maupun pemilik tanah. Pertama, bagi pemda, manfaatnya
yang dirasakan antara lain: percepatan pembangunan infrastruktur sesuai dengan
rencana tata kota tanpa adanya pembebasan tanah, peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dengan peningkatan nilai tanah, dan terciptanya lingkungan yang
teratur, serasi, selaras, seimbang dan sehat.
Kedua, bagi pemilik, tanahnya akan terbuka
akses jalan, adanya jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah karena tanah
disertipikatkan, pemilik akan menikmati langsung nilai harga tanah yang naik.
Tentunya, upaya konsolidasi tanah sebagai upaya penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penyediaan tanah untuk
pembangunan baik tanah permukiman, tanah pertanian maupun tanah untuk kegiatan
usaha, akan terealisasi jika sinergi antara BPN, Pemda dan masyarakat terjalin
dengan baik.
Sumber:
1. Data-data Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI
2. Blog : Land’s Diary (www.landdiary.blogspot.com)
1. Data-data Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI
2. Blog : Land’s Diary (www.landdiary.blogspot.com)
Anggaran besar tak jamin Medan bebas
banjir
MEDAN
– Demi mengatasi masalah banjir di Kota Medan, Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Kota Medan telah mengucurkan dana hingga Rp179 miliar setiap
tahun. Namun, Medan hingga kini masih saja dihadapkan masalah yang sama yakni
banjir.
Melihat
permasalahan ini, analis tata kota Rafriandi Nasution, mengatakan sebenarnya
ada tiga faktor yang menyebakan masalah banjir di suatu daerah tidak bisa
diatasi meski jumlah anggaran besar telah dikucurkan pemerintah. Yang pertama
faktor alam, untuk hal ini sebesar apapun anggaran dan semaksimal apapun
kinerja pemerintah untuk mencegah banjir akan sia-sia karena faktor alam
merupakan salah satu faktor yang tidak bisa diprediksi.
“Sebagai
contoh gempa bumi di Jepang beberapa waktu lalu, kurang canggih apa pemerintah
Jepang dalam mengantisipasi datangnya berbagai bencana namun karena sudah
faktor alam maka yang seperti kita lihat, banyak korban yang berjatuhan. Jika
tuhan sudah berkehendak, kita hanya bisa pasrah,” ujarnya kepada Waspada Online
tadi malam.
Yang
kedua, lanjut Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Pemukiman Kota (LP3K)
ini, masalah perencanaan dari para stake holder. Sebesar apapun anggaran yang
dikucurkan pemerintah tanpa ada perencanaan yang matang juga akan sia-sia.
“Mereka bisa saja membangun, namun karena kurangnya perencanaan mereka tidak
bisa merawatnya, ini kan jadi terkendala,” ujarnya.
Dan
yang ketiga faktor pengelolaan sumber daya manusianya. Ketiga faktor tersebut
sangat penting dalam mengatasi bencana, baik banjir maupun bencana alam lainnya
seperti gempa bumi maupun tanah longsor. Sebenarnya, katanya, anggaran yang
dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi banjir di beberapa daerah di
Indonesia masih relatif kecil jika dibandingkan anggaran yang dikelaurkan
pemerintah di luar negeri untuk masalah yang sama. Dan ketika ditanya apakah
pemerintah Kota Medan sudah melakukan upaya yang maksimal untuk mengatasi
masalah banjir di Medan, dirinya mengatakan, “Belum karena sampai sekarang
Medan masih saja dilanda banjir.”
Sementara
itu, Wakil Ketua DPRD Kota Medan Ikrimah Hamidy, mengatakan anggaran yang
dikucurkan Pemko Medan untuk Dinas Bina Marga hampir tiap tahun meningkat.
Begitu juga dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim), akan tetapi
manfaatnya belum dirasakan warga Kota Medan. “Anggaran itu sampai saat ini
belum dirasakan warga dan hasilnya belum maksimal,” kata Ikrimah.
Menurutnya,
ada kesalahan dalam penggunaan anggaran yang dilakukan Pemko Medan. Kita
menganggap ada kesalahan dalam pengelolaan anggaran. Karena itu harus melakukan
evaluasi terkait penggunaan anggaran,” katanya.
Di
bagian lain, dia juga menyampaikan DPRD Kota Medan merasa perlu untuk membuat
Panitia Khusus (Pansus) penanganan drainase. Hal itu bertujuan dalam membantu
Pemko Medan menyelesaikan infrastruktur di Kota Medan. Pansus itu, kata
Ikrimah, bertujuan mengetahui permasalahan mendasar dalam penanganan drainse di
Kota Medan. “DPRD Medan ingin mendukung kerja Pemko, dalam hal ini Dinas Bina
Marga,” ujarnya.
Sedangkan
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Medan, Jumadi SPDI menyampaikan,
anggaran Pemko Medan ke Dinas PU Bina Marga tidak ada manfaat sama sekali.
Sebab selama ini Kota Medan tetap saja tidak terlepas dari banjir. Editor:
ANGGRAINI LUBIS
Pengerukan Citarum Tak Jamin Bandung Bebas
Banjir
INILAH.COM,
Bandung – Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto mengakui pengerukan Sungai
Citarum tidak bertujuan membebaskan kawasan sepanjang aliran sungai agar bebas
dari banjir. Namun dia menegaskan, pengerukan akan melancarkan aliran air,
sehingga kemungkinan banjir bisa diperkecil.
“Kita tidak bisa menjamin Bandung akan bebas dari banjir akibat Citarum. Tapi pengerukan ini kita jamin akan mengurangi potensi itu,” ujar Djoko usai peresmian Pelaksanaan Rehabilitasi Penanggulangan Banjir Sungai Citarum di Baleendah Kabupaten Bandung, Rabu (9/11/2011).
Dia
menambahkan, penanganan limbah di sepanjang sungai pun bukan jadi target
kementeriannya. Karena itu dia mengaku penanganan kawasan Citarum tidak bisa
dilakukan satu kementerian saja, namun harus melibatkan kementerian lain,
termasuk pemerintah daerah.
“Upaya
yang dilakukan sekarang memang tidak optimal, karena itu harus ada pengelolaan
yang terpadu dan terkoordinasi dengan baik. Tidak mungkin satu menteri
menyelesaikan semua masalah Citarum, harus melibatkan kementerian lain,” kata
Djoko.
Sementara
itu, untuk pengerukan yang dilakukan Kementerian PU, pihaknya sudah
mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,3 triliun. Dana itu dialokasikan untuk 3
tahun. Total biaya untuk menyelesaikan Citarum sendiri diakui Djoko sangat
besar, mencapai puluhan triliun.
“Penanganan
Citarum tidak bisa dilakukan sebentar, tapi memerlukan waktu sekitar 10-15
tahun. Total biaya mencapai Rp35 triliun untuk 15 tahun,” ungkap dia.[jul]
Sistem Pompa tidak Jamin Bekasi Bebas Banjir
KISMI DWI
ASTUTI/”PRLM”
SEBUAH
pompa dipasang di aliran Kali Bekasi di Jln. Kartini Kota Bekasi untuk menyedot
air yang melimpah saat hujan agar tidak terjadi banjir, Minggu (21/11). Selain
membutuhkan pompa dengan kapasitas besar, Kota Bekasi perlu memperbaiki saluran
drainase yang ada secara menyeluruh dan membangun tandon air.*
BEKASI,
(PRLM).- Penerapan sistem pompa air di sejumlah titik yang sering tergenang
tidak menjamin Kota Bekasi bebas banjir. Sebab, selain disebabkan oleh air
limpasan dari sungai banjir di Kota Bekasi juga banyak disebabkan karena sistem
drainase yang semakin memburuk. Hal itu diungkapkan Wakil Wali Kota Bekasi,
Rahmat Effendi menanggapi sejumlah keluhan masyarakat mengenai banjir
cileuncang maupun banjir akibat limpasan ai sungai di beberapa wilayah di Kota
Bekasi.
Dikatakan
Rahmat, Minggu (21/11), saluran sekunder atau saluran penampung air limpas di
bagian barat Kota Bekasi seharusnya terintegrasi dengan banjir kanal timur
(BKT) Jakarta Timur. Selain itu, sejumlah tandon air terutama di wilayah Bekasi
bagian timur perlu segera terealisasikan. “Dua solusi inilah yang akan kami
sampaikan ke DPRD dan agar juga dibahas bersama dengan Pemprov DKI Jakarta.
Sebab, pembelian pompa di setiap titik pun tidak akan ada gunanya jika sistem
drainase kita belum baik. Lihat saja, hampir di seluruh wilayah sistem
drainasenya rusak parah sehingga banjir sering terjadi,” ujarnya.
Lebih
lanjut dikatakan pria yang akrab disapa Pepen ini, sistem drainase yang
terintegrasi akan menunjang saluran pembuangan air ke laut. Sebab, selama ini
saluran pembuangan air hanya mengandalkan saluran primer dan sekunder yang ada
di Kota Bekasi. Padahal, kinerja saluran itu sampai sekarang tidak efektif
disebabkan oleh topografi atau kontur permukaan Kota Bekasi hampir datar, hanya
27 meter di atas muka laut. Oleh karena itu, tetap mengandalkan saluran primer
dan sekunder menurut Pepen tidak akan membantu banyak.
Saluran.
lanjut Pepen, semakin buruk seiring dengan padatnya penduduk yakni sekitar 2,3
juta jiwa. “Saluran buangan yang paling efektif memang harus melalui BKT,”
tambahnya. Untuk menunjang rencana tersebut, pihaknya butuh foto udara soal
wilayah Kota Bekasi. “Dari foto udara itulah, kita bisa menggambar saluran yang
terintegrasi,” katanya. Disayangkan Pepen, foto udara Kota Bekasi yang terakhir
ada pada tahun 1998. “Kondisi saat itu dengan saat ini tentu sudah jauh berbeda
sehingga foto udara tahun 1998 sudah tidak bisa menggambarkan gambaran yang
sebenarnya tentang kondisi Kota Bekasi. Sebab, pastinya mengalami perubahan
seiring dengan pertambahan penduduk,” tutur Pepen.
Selain
integrasi sistem drainase, Kota Bekasi dinilai Pepen juga harus membangun
tandon air di wilayah Bekasi bagian timur, misalnya di Kecamatan Pondok Melati,
Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Perumnas 3 Bekasi Timur, dengan luas
masing-masing sekitar 1 hektare. “Rencana ini telah berkali-kali diusulkan,
tetapi dananya selalu tidak ada. Sekalinya ada harapan, kita mengalami defisit
sehingga dana untuk projek ini pun menguap dan tidak pernah terealisasi sampai
sekarang,” ungkapnya. Menurut dia, untuk projek ini diperkirakan akan menelan
dana hingga Rp 100 miliar.
Saat
ini, Kota Bekasi tengah menyiapkan sebuah bangunan pengendali banjir di samping
Islamic Center tepatnya di Kali Rawa Tembaga untuk menanggulangi banjir di
wilayah perkotaan, yakni di sekitar aliran kali tersebut. Hanya saja, pompa
dengan kekuatan besar seharga Rp 7,5 miliar ini pun hanya akan menanggulangi
sekitar 75 persen masalah banjir cileuncang dan banjir akibat limpasan air kali
di sekitar wilayah ini. Sementara, wilayah lainnya di sekitar Kali Bekasi
maupun kali lainnya masih terancam banjir saat musim hujan tiba.
(A-155/A-147)***
Refleksi Kebijakan Program Perbaikan Kampung Terpadu (MHT Plus)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Jakarta, walaupun mendap at
predikat kota –Mega Politan-, namun nyatanya masih memiliki permasalahan pada permukiman,
yakni masih banyaknya terdapat permukiman kumuh yang menghiasi sudut-susdut
kota Jakarta. Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) DKI
Jakarta di Balaikota, Selasa, 5/5/2009, terpaparkan bahwa jumlah RW Kumuh di
Provinsi DKI Jakarta berjumlah sekitar 265 RW[1].
Di Jakarta Barat terdapat 97 RW kumuh yang berada di 40 Kelurahan dan 8
Kecamatan, di Jakarta Timur, terdapat 51 RW kumuh. Di Jakarta Pusat sebanyak 69
RW, terdiri dari 24 Kumuh Ringan, 41 Kumuh Sedang dan 4 Kumuh Berat. Sedangkan
di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, dari total 24 RW terdapat 4 RW termasuk
RW Kumuh. Di Jakarta Utara berdasarkan data pada 2008, terdapat 79 RW kumuh.
Adapun di wilayah Jakarta Selatan terdapat 44 RW kumuh, terdiri dari 31 RW
Kumuh Sedang dan 13 RW Kumuh Ringan.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut Pemerintah
DKI Jakarta melakukan berbagai macam upaya untuk menanggulangi permasalahan
yang ada. Diantara program yang dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk
menanggulangi permasalahan permukiman adalah dengan digulirknnya program
perbaiakan kampung terpadu atau yang lebih dikenal dengan nama Program Muhammad
Husni Thamrin (MHT). Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) merupakan program
yang digulirkan dalam rangka mewujudkan visi jakarta (2007-2012) yaitu“Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk
Semua”. Untuk
mewujudkan visi yang ditetapkan, maka misi yang digagas adalah : Membangunan
tata pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-kaidah “good governance”; melayani
masyarakat dengan prinsip pelayanan prima; memberdayakan masyarakat dengan
prinsip pemberian otoritas pada masyarakat untuk mengenali permasalahan yang
dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan; membangun prasarana dan
sarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan memperhatikan prinsip pembangunan
berkelanjutan; menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam
mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan[2].
Sejarah Program MHT Jakarta
Program
peningkatan kampung atau yang biasa dikenal sebagai proyek Muhammad Husni
Thamrin merupakam suatu program yang digulirkan sejak tahun 1969 oleh
pemerintahan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pada awalnya nama dari program
ini adalah pembangunan kualitas kampung ( kampung improvement project – Jakarta
Urban Development Project/ JUDP). Focus dari program ini adalah penataan
pemukiman kumuh yang berada di wilayah Jakarta. Program ini terus berkembang
dan dikembangkan hingga hari ini dan kemudian dikenal dengan nama kampung
improvement program/Project Muhammad Husni Thamrin (KIP/MHT). Awalnya program
ini berfokus pada pembenahan sarana dasar fisik saja namun kemudian fokusnya
lebih holistic dengan konsep Tri Binanya yaitu bina sosial, bina ekonomi, dan
bina fisik.
Program
perbaikan kampung ini, yang dilakukan semenjak gubernur Ali Sadikin memerintah
didasarkan pada program pemerintah Belanda yang dinamakan dengan
kampoengverbetering yang dilaksanakan di Batavia sejak tahun 1934. Kemudian
Gubernur Ali Sadikin melanjutkan program belanda tersebut ditahun 1969. Pada
tahun 1969, 60% (sedikitnya 3 juta jiwa) dari 4,8 juta penduduk Jakarta, hidup
di permukiman kumuh. Menghadapi masalah itu, diperkenalkan proyek perbaikan
kampung bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin yang berlangsung dengan sukses
sampai 1999. Paradigma terhadap kampung yang semula dianggap bermasalah,
akhirnya memiliki jalan keluarnya; apa yang dinamakan Turner dengan urban sebagai
solusi (urban as solution), sebuah pendekatan yang melibatkan komunitas,
sehingga model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif.
Proyek
Muhammad Husni Thamrin (MHT) berkembang dari 1969 sampai 1999. Badan-badan
internasional, seperti Bank Dunia dan UN Habitat, menilainya sebagai proyek
yang berhasil memperbaiki kualitas lingkungan kumuh dan kualitas hidup
penghuninya, dengan biaya rendah. Tidak kurang dari 5,5 juta penduduk Jakarta
menerima manfaat dari model pendekatan ini. Dalam lingkup nasional, setidaknya
15 juta penduduk yang diam di lebih dari 400 kota di Indonesia menerima manfaat
serupa.
Sejak
awal, misi proyek MHT adalah investasi kemanusiaan, atau perbaikan sosial
(social betterment) menurut Melvin Mark, yang dijabarkan sebagai
kebijakan/program sosial (social policy/program). Proyek yang dicetuskan pada
1969, yang mengangkat nama baik kota Jakarta dan pemerintah Indonesia saat itu,
sampai saat ini, oleh dunia manajemen perkotaan, masih dianggap sebagai proyek
yang tepat dalam menangani masalah permukiman perkotaan. Keterbatasan dana,
majemuknya masalah perkotaan, dan penduduk kota yang terus bertambah, merupakan
tantangan yang dihadapi pada waktu itu, juga sampai saat ini. Proyek MHT tidak
sekadar perbaikan fisik, melainkan seperti yang dikatakan oleh mantan Gubernur
Ali Sadikin pada 1977, “Saya berpendapat bahwa kelompok penduduk yang terpaksa
harus menempati perkampungan di sela-sela bagian kota yang terbangun rapi itu
adalah justru warga kota yang lebih membutuhkan perhatian untuk menikmati hasil
pembangunan”.
Dimulainya
proyek MHT pada 1969 merupakan tonggak sejarah perubahan dalam tata-ruang
maupun manajemen perkotaan. Seperti peristiwa di Eropa Barat setelah revolusi
industri, yaitu berubahnya asas perencanaan birokrasi (bureaucracy planning) ke
perencanaan advokasi (advocacy planning), proyek MHT merupakan suatu pengakuan
atas keberadaan permukiman kampung sebagai bagian dari rajutan perkotaan (urban
fabric). Permukiman informal yang terbentuk itu, dilengkapi dengan layanan
perkotaan (urban services), seperti prasarana, sarana, fasilitas sosial, dan
fasilitas umum.
Pada 1980,
proyek MHT meraih penghargaan dari Yayasan Aga Khan. Pada Pelita III, model
pendekatan ini diangkat pemerintah pusat sebagai kebijakan nasional dalam menangani
perumahan dan permukiman perkotaan. Pada Konferensi Habitat II di Istanbul,
Turki pada 1996, proyek ini masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam
menyelesaikan masalah permukiman di negara-negara berkembang. Juga dalam
pembukaan Aliansi Kota (Cities Alliance) di Washington DC pada 1999, proyek ini
pula yang masih disebut-sebut sebagai proyek yang dapat diandalkan. Sampai
2004, Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, menyatakannya sebagai Praktik Global
Terbaik. Sesuai dengan pendapat Sach, untuk memperbaiki kekumuhan dan
kemiskinan, layanan dasar perkotaan harus dibangun, terutama prasarana,
sanitasi, dan air bersih. Dalam proyek MHT, komponen proyek dilengkapi dengan
pembangunan fasilitas pendidikan (gedung sekolah dasar) dan fasilitas kesehatan
(Puskesmas).
Pada tahun
2005, dikembangkan kembali persiapan KIP/PMHT dengan paradigma baru yang
dikenal dengan nama “dedicated program”dan setahun kemudian di tahun 2006,
telah diuji praktekkan pada 5 wilayah DKI Jakarta dengan skala lokasi terbatas
dan jumlah dana yang besar. Kegiatan tersebut mendapat penilaian cukup berhasil
dan memberikan tingkat perubahan yang signifikan, baik pada kondisi fisik
lingkungan maupun perkembangan sosial masyarakat pada lokasi program. Tahun
2007, berdasarkan keberhasilan dedicated program 2006, maka dilanjutkan dengan
perbaikan kampung terpadu. Lokasi sasaran adalah 5 wilayah yang sama dengan
tahun 2006. Hasil pelaksanaan pada lokasi tersebut memperlihatkan keberagaman
antara satu wilayah dengan wilayah lain. Hal keberagaman hasil ini, pada satu
sisi dapat menunjukkan indikator input dan proses pelibatan masyarakat secara
maksimal, namun pada sisi yang lain dapat juga dilihat sebagai adanya
keniscayaan perbedaan dalam pemahaman, konsep, pendekatan, dan metode
pelaksanaan di lapangan.
Pendekatan dalam program MHT
perbaikan kampung terpadu
Dalam
melaksanakan program MHT perbaikan kampung terpadu ini (sebagai contoh di
kelurahan Kebon Baru tahun 2008) pendekatan yang digunakan oleh
pemerintah dan konsultan yang mendampinginya menitik beratkan pada pengembangan
komunitas terpadu dengan sasaran pada aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan
serta aspek fisik lingkungan yang terfokus pada penguatan peran aktif
masyarakat dalam pengelolaan secara mandiri sehingga bersih, sehat dan nyaman. Upaya
pendampingan masyarakat dalam perbaikan kampung pada hakekatnya adalah
merupakan upaya penguatan bagi kelembagaan warga di tingkat local.
Pendampingan
masyarakat lebih dibutuhkan untuk membentuk kembali komunitas sebagai tempat
bagi pengalaman manusia dan bertemunya kebutuhan manusia daripada sesuatu yang
lebih luas, lebih tidak manusiawi dan struktur-struktur yang tak terjangkau.
Pengalaman dan pergaulan manusia secara alamiah adalah kompleks, namun
seringkali berbagai program pendampingan pengembangan masyarakat mencoba
membentuk landasan komunitas yang lebih kokoh bertumpu pada aspek tunggal dari
keberadaan manusia dan menolak aspek lainnya. suatu pendampingan pengembangan
masyarakat yang berakar pada kerja sosial akan berkonsentrasi pada penyediaan
layanan manusia bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan basis ekonomi
komunitas yang bekerja atas asumsi bahwa dari pengembangan ekonomi akan memicu
perkembangan hal yang lainnya, dengan demikian mereka mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan sosial. Besar kemungkinan pengembangan masyarakat
berdimensi tunggal seperti ini akan mengalami kegagalan.
Jim Ife dalam bukunya community
Development : Creating Community, alternative vision, analysis and practices,
mengidentifikasi pengembangan terdiri atas enam dimensi dan keenamnya merupakan
dimensi yang penting secara kritis keenam dimensi itu tersebut tidak selalu
tersekat-sekat dan berinteraksi satu dengan yang lain secara kompleks. Sering
diperdebatkan bahwa satu dimensi lebih mendasar dari dimensi lainnya namun bagi
kebutuhan pembentukan suatu model pengembangan komunitas dan dengan merenungkan
peran pendamping masyarakat adalah sangat bermanfaat untuk secara mendasar
menganggap keenam dimensi tersebut sebagai suatu hal penting, keenam dimensi
itu adalah pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan,
pribadi/spiritual.
Dalam
melaksanakan programnya, pemerintah juga mengembangkan konsep tribina menjadi
tridaya. Tridaya bertujuan untuk melahirkan masyarakat yang mempunyai
keberdayaan dalam dirinya untuk memperbaiki dan memelihara serta mengembangkan
fisik permukiman dan lingkungannya, untuk melakukan kegiatan ekonomi guna
pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta untuk meningkatkan keberdayaan dirinya
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat memelihara dan
meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan pendampingan
melalui program pemberdayaan masyarakat dalam suatu rangkaian program
terintegrasi yang jelas dan berkesinambungan. Inti dari tridaya adalah
partisipasi masyarakat, yang diturunkan menjadi:
1.
Pemberdayaan sosial kemasyarakatan
yang mungkin lebih tepat disebut sebagai suatu model proses prakondisi, yang
mendorong mereka untuk dapat mengekspresikan diri dan aspirasinya dengan
mengikatkan diri ke dalam suatu kelompok
2.
Pemberdayaan kegiatan ekonomi
sebagai wahana rasional untuk mensejahterakan diri dan kelompok
3.
Pemberdayaan prasarana dan sarana
lingkungan untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha ekonomi
yang mendukung upaya mensejahterakan diri dan kelompok, maka kondisi prasarana
dan saran lingkungan harus ditingkatkan.
Program MHT dan permasalahan
yang menyertainya
Program
MHT yang telah dinilai berhasil oleh badan-badan dunia dan oleh para ahli
perkotaan ternyata pada kelanjutan program di tahun berikutnya mengalami
berbagai macam masalah. Perkembangan model yang dilakukan dalam program MHT
dilakukan karena disadari bahwa perkembangan kota Jakarta yang sedemikian cepat
dibutuhkan suatu respons dan program yang tepat guna dan sasaran dalam rangka
menanggapi perkembangan tersebut. Maka dari itu program MHT dikembangkan untuk
menyesuaikan perubahan zaman. Program MHT berkembang menjadi MHT perbaikan
kampung terpadu . konsep baru ini dikenal pada tahun 2007 yang sebelumnya sudah
diawali pada tahun 2006 melalui MHT “dedicated programe”. Namun pada
pelaksanaannya terdapat berbagai macam perbedaan dalam pencapaian hasil. Oleh
karenanya pada hasil laporan tentang perbaikan kampung tahun 2008 yang
dikeluarkan oleh PT Wahana Prakarsa Utama sebagai konsultan Dinas
Perumahan Pemda Jakarta Pusat, menyimpulkan perlunya keseragaman tentang konsep
pengembangan MHT tentang perbaikan kampung terpadu.
Permasalahan
berikutnya adalah belum adanya pedoman baku tentang perbaikan kampung terpadu.
Pentingnya pedoman baku adalah sebagai arahan terhadap pelaksanaan di tingkat
lapangan. Lalu permasalahan berikutnya adalah belum terujinya perbaikan kampung
terpadu pada saat ini sebagai solusi pemecahan bidang perumahan di DKI Jakarta.
Kita semua menyadari bahwa permasalahan yang ada di Kota Jakarta sudah
sedemikian kompleks, diantara masalah-masalah itu adalah masalah perumahan,
sosial, banjir, sampah, sanitasi, air bersih, penghijauan, pengelolaan limbah
rumah tangga dan transportasi. Program perbaikan kampung terpadu yang telah dilaksanakan
pada 5 wilayah di DKI Jakarta selama 2 tahun berturut-turut yaitu pada tahun
2006 dan 2007 memang telah memberikan perubahan fisik lingkungan maupun sosial
namun masih perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah program ini kontributif
untuk menjadi alternative solusi bagi permasalahan penataan lingkungan
pemukiman dan perumahan di DKI Jakarta.
Di lain pihak, warga DKI Jakarta menganggap
bahwa program MHT yang dilakukan oleh pemerintah selama 5 tahun ini dianggap
jalan di tempat. Hal ini di ungkapkan oleh warga kelurahan Manggarai Selatan.
Warga menganggap bahwa program perbaikan kampung terpadu tidak sepenuhnya
berhasil dan penanganan masalah perkampungan kumuh pun tidak sepenuhnya tuntas
ditangani walaupun tetap mendapatkan Piala Adipura untuk tujuh kali. Menurut
Rosmanah-salah seorang warga perkampungan di Jakarta, tak masalah mengejar
prestasi kebersihan, tapi yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kemiskinan
dan kekumuhan di kawasan padat penduduk. “Kekumuhan di satu lokasi tentunya
membawa dampak yang banyak bagi lingkungan sekitar,” ujarnya. Rusdi, warga
Tegal Parang, menilai penataan lingkungan kumuh tak berhasil. Buktinya, di
wilayahnya masih ada tiga RW yang masuk kategori RW kumuh. Bapak dua anak ini,
menilai kinerja serta program Walikota Jaksel menuntaskan kemiskinan serta
kekumuhan selama lima tahun belakangan tak berhasil. “Terkesan pejabat di
Pemkot Jaksel tak banyak turun ke lapangan untuk meninjau lokasi yang kumuh dan
padat penduduk,” imbuhnya.[3]
Perubahan kebijakan: Dari
perbaikan kampung ke pembangunan rumah susun
Pada tahun
1985, peremajaan perkotaan dilaksanakan di Kecamatan Tambora dan kemudian di
Karang Anyar, setelah yang terakhir ini tertimpa musibah kebakaran. Tujuan
pembangunan rumah susun adalah pengentasan kemiskinan dan kekumuhan. Apa yang
terjadi kemudian, dalam waktu singkat, adalah munculnya pergeseran kelompok
sasaran. Lebih daripada 90% penghuni rumah susun ternyata adalah golongan
menengah, dan ini berarti pemerintah memberikan subsidi terus-menerus terhadap
kelompok yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas mendapatkannya. Rumah
susun kemudian menjadi monumen kekumuhan bertingkat, yang berarti tidak
berkelanjutan dan memerlukan subsidi terus-menerus.
Dalam
pelatihan-pelatihan manajemen perkotaan internasional, di manapun, selalu
disarankan untuk tidak mengambil Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Israel,
sebagai acuan dalam kebijakan perumahan dan permukiman, karena negara-negara
itu memiliki pendapatan domestik bruto yang tinggi, selain ada keterbatasan
lahan. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka berbeda dengan
Indonesia.
Sejak
2000, tidak ada proyek MHT. Sebaliknya, pembangunan rumah susun terus
digalakkan. Pada sektor swasta, pembangunan perumahan mewah bermunculan di
segenap penjuru kota, menawarkan permukiman bernuansa modern, seakan-akan di
dalam kota Jakarta tidak terdapat masalah permukiman. Terjadi kesenjangan yang
mencolok, di mana di satu pihak permukiman formal dimanjakan, sedang permukiman
informal diterlantarkan. “Sementara karya perancang dan arsitek diperuntukkan
bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib
mereka sendiri”
MHT dan Harapannya di masa yang
akan datang
Program yang digulirkan oleh pemerintah DKI
Jakarta untuk melakukan penataan terhadap lingkungan kumuh memang telah
mendapatkan berbagai macam pengakuan akan keberhasilannya dari dalam maupun
luar negeri, namun begitu keberhasilan program MHT di masa yang lalu mendapat
tantangan di masa kini dengan adanya perubahan zaman dan suasana kota Jakarta
yang semakin berkembang. Jika pada awal program MHT digulirkan hingga hari ini,
penekanan dari program ini lebih menitik beratkan pada pembangunan fisik dan
infrastruktur, maka program-program MHT selanjutnya juga harus mulai merambah
kepada pembangunan masyarakat (community Development) secara
seimbang dan berkelanjutan.
Program
MHT diharapkan tidak hanya mampu membangun sarana-sarana fisik dari sebuah
lingkungan namun juga program ini diharapkan mampu membangun masyarakat, baik
secara individual maupun komunal yang tinggal dalam lingkungan tersebut. Perlu
disadari bahwa sebuah pemukiman walaupun secara empirik adalah lingkungan fisik
namun sebenarnya pemukiman itu adalah sebuah lingkungan budaya yang penciptaan
dan penataannya dilakukan dengan berpedoman kepada suatu kebudayaan, digunakan
untuk tinggal dan hidup bersama bagi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat
melangsungkan kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan primer
(yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organism tubuh manusia),
sekunder (yang terwujud sebagai akibat dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan
primer yang tidak dapat terpenuhi secara individual tetapi harus dalam
kehidupan sosialnya), dan kebutuhan tersier (yang lahir dari usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder, yang menuntut terwujudnya
keteraturan dan ketertiban moral dan sosial, keindahan, dan estetika pada
umumnya, dan kebutuhan-kebutuhan tersier inilah yang mengintegrasikan
tindakan-tindakan manusia dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer dan
sekundernya). Selain itu pemukiman juga harus disadari sebagai suatu lingkungan
politik dan ekonomi. Oleh karenanya pembangunan pemukiman harus selalu dilihat
dari sudut manusia, fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi,
diharapkan dengan cara pandang yang holistic seperti itu suatu pemukiman yang
aman, nyaman dan tenteram dapat terwujud
Referensi
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan,
Pemgembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga
FEUI
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan
dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty
Ife, Jim. 1995. Rethinking
Sosial Work: Towards Critical Practise. South Melbourne: Longman
Ife, Jim. 2008. Community
Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ramadhan. 1992. Bang
Ali Demi Jakarta (1966-1977). Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
WAJAH IBUKOTA JAKARTA
“Pemukiman Kumuh di Kota Jakarta”
Permasalahan yang ada di kota Jakarta
cukup beragam, mulai dari pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, samapi ke
perumahan kumuh di daerah kota. permasalahan ini saling berkaitan satu dengan
yang lainnya. Perumahan kumuh di daerah DKI Jakarta juga diakibatkan oleh
kemiskinan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Kemiskinan ini juga
diakibatkan arus urbanisasi yang cukup pesat ke daerah ibukota Jakarta.
Adanya arus urbanisasi yang terjadi
secara besar-besaran dari suatu wilayah ke wilayah lainnya yang pada umumnya
dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab dari keberadaan pemukiman
kumuh. Alasan perpindahan penduduk ini adalah ingin mengais rejeki dan mencari
peruntungan di kota. mungkin saja melihat tetangga mereka yang tinggal di kota
menjadi maju, sehingga mereka pun tertarik untuk ke kota.
Pada kenyataannya, ternyata tidak
semudah yang dibayangkan. Kehidupan di perkotaan memiliki persaingan yang cukup
ketat. Tanpa memiliki keahlian khusus bagi mereka yang datang ke kota, maka
akan sulit untuk dapat bersaing dengan lainnya kebanyakan mereka yang datang ke
ibu kota tidak memiliki keahlian yang cukup memadai. Hal demikian mengakibatkan
mereka yang beruntung memiliki modal sendiri (walaupun pas-pasan) atau memiliki
koneksi terpaksa beralih pada pekerjaan di sektor-sektor informal lainnya
seperti dengan menjual bakso, tukang becak, penjual kaki lima, dll. Sedangkan
bagi mereka yang tidak memiliki modal atau tidak memiliki keahlian sama sekali,
akhirnya terpaksa menjadi pengangguran atau bila sudah ‘kepepet’ terpaksa
melakukan kejahatan.
Sementara itu, sedemikian pesatnya
pertumbuhan daerah perkotaan juga telah menyebabkan terjadinya persaingan dalam
penggunaan lahan. Hal ini menimbulkan penyalahgunaan lahan, misalnya antara
penggunaan lahan untuk perumahan dengan penggunaan lahan untuk industri, atau
penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau, pemukiman atau perkantoran.
Disamping itu, secara bersamaan terjadi penciutan luas lahan pertanian, akibat dari
perluasan lahan untuk perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan dan lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan lahan di wilayah DKI
Jakarta menunjukan adanya perubahan lahan yang cukup besar dari penggunaan
untuk pertanian menjadi untuk bangunan dan jenis-jenis penggunaan lainnya.
Namun, selain untuk kegiatan
perekonomian, ada sebagain besar luas dari wilayah DKI Jakarta masih
dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Akan tetapi luas tanah yang ada tidak
mencukupi untuk seluruh penduduk di kota Jakarta. Hal ini menimbul masalah lagi
di Jakarta, pemukiman kumuh pun menjadi hiasan dari Ibukota Negara ini. Adapun
wilayah-wilayah yang terdapat lingkungan pemukiman kumuh, diantaranya
berkategori kumuh berat yang lokasinya tersebar hampir diseluruh wilayah. Di
Jakarta Pusat pemukiman kumuh terdapat di kecamatan Senen, Kemayoran dan Johar
Baru atau tepatnya di kelurahan Petojo Selatan, Karang Anyar, dan Galur, di
Jakarta Timur di kelurahan Cipinang Melayu, Cipinang, Cempedak, Pisangan Baru,
Kayu Manis dan Pisangan Timur, di Jakarta Selatan di kecamatan Kebayoran Lama,
Mampang Prapatan dan Pancoran, dan di Jakarta Barat di kecamatan Angke, Duri
Utara, Tambora, Kapuk dan Rawa Buaya. Nampak bahwa pemukiman kumuh yang terluas
(terbanyak) terdapat di wilayah Jakarta Utara. Pada umumnya kawasan kumuh serta
gubuk liar berada disekitar perumahan penduduk golongan menengah ke atas dan
juga sekitar gedung-gedung perkantoran maupun lokasi perdagangan, sehingga
semakin memperlihatkan adanya perbedaan sosial-ekonomi dan turut pula
memperburuk kualitas lingkungan visual kota.
Kondisi Pemukiman Kumuh di Kota
Jakarta
Pemukiman kumuh di daerah DKI Jakarta
dapat ditemukan di daerah-daerah pinggiran kali, selain itu ada juga di
derah-daerah kolong Jembatan Layang dan daerah pinggiran rel kereta api.
Rumah-rumah kumuh ini biasanya berbentuk gubuk-gubuk yang terbuat dari triplek
kayu pada dinding-dindidingnya. Adapun ciri-ciri dari pemukinman kumuh tersebut
diantaranya, pertama sanitasi atau masalah Kebersihan di wilayah perumahan
Kumuh tidak memadai. Masalah sanitasi atau masalah kebersihan ini cukup penting
untuk diperhatikan. Sanitasi yang buruk akan menimbulkan dampak yang
memprihatinkan bagi kesehatan. Selain itu Air bersih sulit untuk ditemukan.
Masalah sampah juga tidak diperhatikan, banyak sampah-sampah yang yang tidak
terurus dan tak ada tempat Pembuangan sampah disana. Kedua, Ventilasi udara
atau pertukaran udara yang sedikit sehingga pertukaran udara yang sehat sangat
kurang. Kondisi ini mungkin dikarenakan sudah terlalu padatnya pemukiman di
kota Jakarta. Bisa dikatakan, perumahan-perumahan dikota Jakarta bila kesamping
kanan kiri, kebelakang, dan kedepan bertemu dengan tembok karena terlalu
padatnya pemukiman yang ada di kota Jakarta, sehingga hanya sedikit space atau
jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Dari padatnya rumah-rumah di
kota Jakarta ini juga menimbulkan pencahyaan yang masuk ke rumah-rumah di kota
Jakarta kurang, ini juga termasuk salah satu ciri dari pemukiman yang kurang
sehat. Selain itu efek dari kepadatan penduduk ini juga mengakibatkan tata
bangunan yang tidak teratur. Ciri lain dari pemukiman kumuh lainnya adalah
fungsi bangunan tersebut bukan hanya untuk hunia saja, sekaligus sebagai tempat
usaha. Hal ini dikarenakan untuk membeli atau meyewa tempat untuk berusaha di
Jakarta sangatlah sulit. Kalau adapun harganya cukup tinggi, jadi mereka
mengambil alternative lainya, yaitu menjadikan rumah mereka sebagai tempat
untuk usaha. Ciri terakhir dari pemukiman kumuh adalah tidak adanya lahan
untuk penghijauan. Hal ini lagi-lagi dikarenakan kepadatan penduduk di kota
Jakarta.
Kebalikan dari pemukiman kumuh adalah
pemukiman yang sehat. adapun ciri-ciri hunian atau perumahan yang sehat
di antaranya, pertama, sarana dan prasarana sanitasi ada dan terawat. Kedua
adanya ventilasi udara yang cukup untuk pertukaran udara sehat. Ketiga,
bangunan yang teratur. Kemudian ciri-ciri lainya, fungsi bangunan sebagai
hunian bukan berfungsi yang lain. Ciri-ciri pemukiman sehat yang terkahir
adalah ada penghijauan.
Solusi Mengatasi Pemukiman
Kumuh di Kota Jakarta
Setiap suatu masalah pasti ada
pemecahannya, begitu juga masalah pemukiman Kumuh di wilayah DKI Jakarta.
Pemukiman kumuh yang membuat wajah DKI Jakarta tidak indah dipandang mata ini
dapat diatasi dengan cara kerjasama antara pemerintah dan masyarakat DKI
Jakarta itu sendiri.
Relokasi daerah pemukiman Kumuh itu
sendiri sudah sering kali dibahas oleh Pemerintah DKI Jakarta. Relokasi
pemukiman kumuh atau yang biasa disebut orang awam penggusuran, tidaklah
efektif apabila tidak ada pengganti rumah yang layak huni bagi mereka.
Perumahan susun yang bisa dibilang sebagai pengganti dari rumah-rumah mereka,
belum bisa memadai. Hal ini dikarenakan harga sewa dari rumah susun tersebut
mahal, sehingga tidak terjangkau oleh mereka. Selain itu, kebanyakan
rumah-rumah susun yang ada sudah dibeli oleh orang-orang yang mampu, lalu
disewakan kembali. Jadi perlu adanya campur tangan dari pemerintah untuk
memberikan hunian yang layak untuk mereka dengan catatan mendata mereka yang
kurang mampu, dan pelarangan pembelian rusun kepada orang-orang yang bisa
dikatakan mampu.
Ibukota Jakarta Cerminan Negara
Indonesia
Sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi
daya terik tersendiri bagi rakayat Indonesia. Jakarta sebagai pusat segalanya,
mulai dari pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan bisnis, pusat pendididkan yang
bagus, dan lain sebagainya menjadikan kota dengan mascot elang bondol ini
menjadi kota tujuan untuk meraup rejeki. Namun pada keenyataannya, kota Jakarta
bukanlah suatu tempat yang menjadi ladang uang bagi mereka-mereka yang tak
punya skill yang
cukup. Bagi mereka inilah yang sulit survive di Jakarta. Mereka yang
sulit untuk bertahan di kota megapolitan ini akan menimbulkan permasalahan bagi
Jakarta, salah satunya adalah pembangunan pemukiman-pemukiman kumuh di wilayah
Jakarta.
Perumahan-perumahan kumuh yang ada di
wilayah kota Jakarta merupakan masalah yang cukup serius dan perlu penanganan
yang cukup dari pemerintah DKI Jakarta. Dengan adanya pemukiman kumuh di
wilayah DKI Jakarta membuat wajah Ibukota menjadi tidak cantik. Sebagai ibukota
Negara, hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena ibukota merupakan
cerminan dari Negara Indonesia. Apabila wajah Jakarta dihiasi oleh pemukiman
yang teratur dan rapi, pandangan Negara lain pun akan positif ke Indonesia.
Oleh karena itu Jakarta sebagai wajah dari Negara Indonesia harus dipercantik
dengan tata kota yang teratur dan rapi, terutama dari pemukiman-pemukiman
penduduknya.
Jadilah Ibukota negara yang membanggakan (masalah
kependudukan)
Jakarta sudah benar-benar overload karena daya tampung penduduk Ibu Kota yang sudah melebihi kapasitas. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menganggap masalah terbesar yang saat ini terjadi di Jakarta adalah membludaknya jumlah penduduk di Jakarta.
Selain macet dan banjir, peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan
sebagain besar lahan di Jakarta dipadati pemukiman, sentra bisnis dan
perkantoran yang lebih mengerikan dari pada itu adalah ada wacana yang
disebutkan para ahli bahwa 2080 ada kemungkinan Jakarta akan tenggelam.
Jakarta sebagai pusat ekonomi, social, budaya, hukum pemerintahan
dan juga politik. Jakarta menjadi pusat segala peradaban yang terjadi di
Indonesia. Semuanya ada di Jakarta. Masyarakat Indonesia memandang Jakarta
sebagai tambang emas, karena semuanya ada di Jakarta. Oleh karena itu banyak
para urban berbondong-bondong ke kota ini dengan tujuan dapat merubah kondisi
perekonomian di desa.
Jakarta dalam Surat kabar The Jakarta Post (edisi Jumat, 21
Agustus 2010) menyebutkan bahwa penduduk Jakarta berada pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Menurut hasil sensus nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh
hampir 9,6 juta orang melebihi proyeksi penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun
2025. Populasi kota ini adalah 4 persen dari total penduduk negara, 237.600.000
orang.
Dengan angka-angka ini, kita dapat melihat bahwa populasi kota
telah tumbuh 4,4 persen selama 10 tahun terakhir, naik dari 8,3 juta pada tahun
2000. Apa yang dikatakan angka-angka ini? “Ibukota telah kelebihan penduduk.”
Pada tingkat ini, Jakarta memiliki kepadatan penduduk 14.476 orang per
kilometer persegi. Sebagai akibatnya, para pembuat kebijakan kota perlu
merevisi banyak target pembangunan kota ini, termasuk penciptaan lapangan
kerja, ketahanan pangan, perumahan, kesehatan dan infrastruktur, sebagai
peredam masalah pada saat kota sudah mengalami kepadatan penduduk yang sangat
menghawatirkan.
PENYEBAB
Jumlah penduduk ditentukan oleh : 1. Angka kelahiran 2. Angka
kematian 3. Perpindahan penduduk, yang meliputi :a. Urbanisasi, b.
Reurbanisasi, c. Emigrasi, d. Imigrasi, yaitu e. Remigrasi, f. Transmigrasi.
Yang menjadi focus penyebab kepadatan penduduk Jakarta saat ini adalah adalah
Urbanisasi. Dimana, fakta berbicara bahwa penduduk kota Jakarta mayoritas
adalah para urban. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta 2010 mengatakan
bahwa jumlah penduduk Jakarta bertambah sebanyak 134.234 jiwa per tahun. Jika
tidak ada program dari pemerintah untuk mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk, maka pada 2020 Jakarta akan menjadi lautan manusia. Kenapa mereka
berurbanisasi ke Jakarta?
Ada banyak faktor yang memicu urbanisasi misalnya; modernisasi
teknologi, rakyat pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang
ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya.
Pendidikan. Faktor pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap melunjaknya jumlah
penduduk. Universitas terbaik di Indonesia baik negeri maupun swasta ada
perkotaan termasuk di Jakarta. Lapangan Kerja. Jakarta sebagai kota besar dan
berpenduduk banyak tentunya sangat menjanjikan untuk orang-orang kecil yang
berniat untuk mencari sesuap nasi dikota ini mulai dari pedagang kaki lima
(PKL), pedagang asongan, tukang ojek, tukang sngat menjanjikan untuk hidup.emir
sepatu, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, office boy, satpam, sopir,
kondektur dll yang penting bisa bekerja tanpa nmempunyai keahlian khusus. Jika
ditambah dengan orang-arang yang berkeahlian khusus yang didatangkan dari luar
kota maupunh luar negeri untuk bekerja di Jakarta. Pusat Hiburan. Jakarta
merupakan magnet dan pintu gerbang Indonesia. Indonesia mempunyai daya tarik
tersendiri sebagai kota Jakarta dekat dengan tempat – tempat hiburan yang
sperti mall, pantai indah kapuk, dufan, pantai Tidung, sea world dan banyak
arena-arena yang lainnya yang tidak ada di kota-kota lain di Indonesia.
DAMPAK
Pasti ada dampak dari suatu hal yang berlebihan begitu pula
overloadnya Jakarta. Kesesakan yang diakibatkan oleh berlebihannya pendduduk
Jakarta mengakibatkan; Sifat Konsumtif, Kekumuhan kota, Kemacetan lalu lintas,
Kriminalitas yang tinggi, Struktur kota yang berantakan, isu Jakarta tenggelam,
Banjir, pelebaran kota dengan tata kota yang tidak baik, melonjaknya sector
informal, terjadinya kemerosotan kota, dan pengembangan industry yang
menghasilkan limbah.
Dalam hal perbaikan, pemerintah Jakarta memang mengambil
langkah-langkah untuk membatasi urbanisasi. Pemerintah mengeluarkan peraturan
yang membatasi masuknya migran ke kota, dengan hanya mereka yang telah dijamin
pekerjaannya diijinkan untuk tinggal di kota, sementara petugas dari lembaga
ketertiban umum kota sering melakukan serangan terhadap warga ilegal.
Semua upaya untuk mengekang tingkat kelahiran di kota itu akan
menjadi tidak berarti jika kita tidak dapat membatasi urbanisasi. Untuk
mengatasi masalah ini, Jakarta tidak bisa bekerja sendiri karena masih ada
faktor yang mendorong urbanisasi dari berbagai daerah. Namun Semua masalah ini
hanya bisa dipecahkan jika ada kemauan politik dari pemerintah pusat untuk
menangani masalah mengurangi kesenjangan antara Jakarta dan provinsi-provinsi
lainnya.
Jakarta Krisis Lahan Tinggal
JAKARTA-Tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan
ketersediaan lahan tinggal memunculkan masalah permukiman di Jakarta. Jumlah
penduduk yang mencapai 9,5 juta jiwa membuat kepadatan mencapai 146 jiwa per
hektare.
Pertumbuhan penduduk masih terus terjadi, tetapi lahan permukiman sangat
terbatas. Ahli planologi dari Universitas Trisakti Endrawati Fatimah melihat
Jakarta sedang menghadapi krisis permukiman. "DKI Jakarta sebagai ibu kota
negara memiliki tantangan terbesar dalam masalah perumahan dan
permukiman," kata Endrawati kemarin.
Belum tercapainya 1 tempat tinggal bagi 1 kepala keluarga (KK) membuat
tumbuhnya kawasan kumuh baru di Jakarta. Endrawati melihat kepadatan penduduk
di Jakarta sudah mencapai titik jenuh atau sulit membangun secara horizontal
(landed house). "Saat ini yang memungkinkan dibangun landed house hanya di
Jakarta Barat dan Jakarta Timur, selebihnya permukiman harus dibangun
vertikal," ungkapnya.
Namun pertumbuhan penduduk yang mencapai 3 juta di masa mendatang membuat pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal itu semakin sulit,termasuk rumah susun
(rusun). Sebab bila satu menara rusun berkapasitas 100 KK, tetap diperlukan
sangat banyak menara rusun di Jakarta. "Bila kebutuhan 750.000 unit dan
satu menara 100 unit, sedikitnya Jakarta memerlukan 7.500 menara.Lahannya di
mana?" ungkapnya.
Belum lagi masalah estetika arsitektur kota akan terganggu dengan pertumbuhan
ribuan gedung permukiman ini. Akibat dari keterbatasan kemampuan menyediakan
lahan permukiman,menurut Endrawati, ada risiko munculnya kawasan kumuh baru di
masa mendatang. "Karena penduduk semakin padat dan ketersediaan lahan
permukiman terbatas," terangnya.
Saat ini, terdapat sekitar 416 RW kumuh atau sekitar 16% dari luas Jakarta.
Kawasan kumuh itu dikategorikan berat,sedang,dan ringan.Khusus untuk kawasan
kumuh berat, Endrawati mencatat ada sekitar 22 kawasan, yakni 10 RW di Jakarta
Barat,6 RW di Jakarta Utara, 4 RW di Jakarta Pusat, dan 2 RW di Jakarta Timur.
Persebaran penduduk di Jakarta Selatan mengharuskan permukiman ke depan
dibangun secara vertikal.
"Kenapa Jakarta Selatan 100% harus membangun permukiman secara vertikal?
Karena keterbatasan ruang yang ada," ungkap pengamat tata kota dari
Universitas Indonesia Rudy Tambunan. Jakarta Pusat saat ini bahkan sudah tidak
lagi memungkinkan pembangunan permukiman penduduk secara horizontal. Kondisi
ini menurutya harus disesuaikan lagi dengan lembar rencana kota. "Saya
masih yakin pemenuhan kebutuhan masyarakat masih bisa dengan catatan
pembangunan landed house harus dibatasi," terangnya.
Pemprov DKI Jakarta, menurutnya, juga harus menata kawasan padat yang ada untuk
dikaji ulang. Pasalnya masyarakat harus memiliki lingkungan yang nyaman
berkelanjutan serta dilengkapi sarana dan prasarana. "Seperti masalah
kebakaran yang sering terjadi di kawasan padat penduduk, jangan sampai
pendapatan masyarakat setahun hilang dalam dua jam akibat kebakaran,"
ujarnya.
Belum lagi masalah sanitasi dan keperluan air bersih yang kerap menjadi masalah
di kawasan padat penduduk. Termasuk masalah pengelolaan sampah, sumber air,
menciptakan lingkungan sehat yang tentu akan semakin sulit, serta kebutuhan
sarana transportasi. Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Daerah DKI
Jakarta Agus Subardono menjelaskan, pihaknya sedang melakukan perencanaan yang
lebih baik dengan melibatkan berbagai sektor.
Agus menjelaskan pihaknya memang membatasi pembangunan permukiman baru yang
horizontal, khususnya di wilayah selatan. "Prioritas pengembangan kota ke
arah timur, barat, dan utara," ungkapnya. Termasuk melaksanakan reklamasi
dan revitalisasi kawasan Pantai Utara. Pengembangan permukiman vertikal,
menurutnya, harus dilengkapi fasilitas serta prasarana dan sarana yang memadai.
Pihaknya saat ini sedang menyusun Rencana Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) untuk seluruh wilayah DKI Jakarta.
"RP4D ini untuk mengantisipasi banyak warga Jakarta yang tidak akan
mendapatkan rumah atau tidak dapat memiliki tempat tinggal yang layak
huni," ungkapnya. Langkah itu sebagai antisipasi pertumbuhan penduduk di
DKI Jakarta yang telah mencapai lebih dari 9,5 juta jiwa dengan kepadatan
rata-rata 146 jiwa per hektare.
Bahkan pada 2030 diperkirakan akan mencapai 12,5 juta jiwa. Ini tidak sebanding
dengan lahan yang tersedia untuk pengembangan perumahan dan permukiman, yaitu
berkisar 2.863 hektare saja. isfari hikmat
Seputar Indonesia | Senin, 5 Desember 2011
PERMUKIMAN KUMUH DI JAKARTA
MASALAH KLASIK YANG MASIH UP TO DATE
Hampir disetiap daerah di ibukota, dapat kita jumpai permukiman
kumuh yang menyempil diantara bangunan-bangunan megah. Permukiman itu biasanya
mengisi ruang-ruang kosong yang memang disediakan untuk Ruang Terbuka Hijau
atau lahan serapan air. Contohnya bantaran kali yang kini sudah penuh dengan
permukiman-permukiman sehingga menyebabkan berkurangnya Daerah Aliran Sungai
(DAS). Perkembangan permukiman kumuh sudah sangat mengkhawatirkan, saat ini
permukiman kumuh di Indonesia luasnya sudah mencapai 57,8 juta hektar. Melihat
kondisi seperti ini perlu adanya gerakan dari pemerintah pusat untuk merelokasi
permukiman kumuh khususnya di daerah Jakarta.
MENGAPA BANYAKNYA PERMUKIMAN KUMUH DI JAKARTA ???
Pesatnya perkembangan kota-kota besar diindonesia mendorong
adanya arus migrasi penduduk besar-besaran. Hal inilah kemudian yang menjadi
masalah yang tak kunjung selesai, mulai dari banyaknya pengagguran hingga
kebutuhan tempat tinggal yang layak. Dijakarta pembangunan permukiman jelas
kalah cepat dibanding pertumbuhan penduduk yang semakin padat seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Permasalahan ledakan penduduk ini sudah
menjadi masalah klasik yang belum juga diatasi secara menyeluruh. Sementara
angka pengangguran di Jakarta terus merangkak naik dari tahun ketahun, hal ini
jelas semakin mempengaruhi mempengaruhi kebutuhan permukiman. Akibatnya terjadi
penurunan kualitas permukiman di Jakarta yang menyebabkan banyaknya permukiman
kumuh.
Untuk itu diharapkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan
penataan kembali kawasan perkotaan dengan mencoba mengurangi permukiman kumuh
ini dengan membangun rumah susun. Selain itu menurut Irhash Ahmady, aktivis
lingkungan hidup yang bernaung dibawah bendera Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).
Ia menjelaskan bahwa ada dua macam cara untuk menangani permukiman kumuh
seperti yang pertama adalah program jangka panjang, yaitu melakukan
redistribusi kawasan, hal ini dimaksudkan agar semua kegiatan industry tidak
fokus ke Jakarta saja, kota-kota satelit seperti Tangerang, Bekasi , Depok
serta Bogor pun harus dimanfaatkan supaya Jakarta tidak kelebihan beban. Yang
kedua adalah program jangka pendek, yaitu memangun kesadaran masyarakat untuk
melakukan pengurangan resiko terhadap bencana yang biasanya ditimbulkan
didaerah permukiman kumuh seperti banjir dan kebakaran.
Pengertian Wilayah, Daerah,
Kota, Perkotaan, Perencanaan
Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan
perlu terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian
dasar, konsep atau terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya.
Pengertian-pengertian dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan,
serta perencanaan. Selain itu, perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan
seperti daerah dan kawasan. Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar
tersebut diperlukan sebagai pengantar kepada Perencanaan Wilayah dan Kota, baik
sebagai disiplin ilmu maupun sebagai salah praktek dalam perencanaan
pembangunan di Indonesia.
Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan
geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi,
dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum
meskipun lebih umum (Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi, Wilayah
Kabupaten/Kota, atau Wilayah Indonesia Timur, Wilayah Kalimantan, Wilayah
Pantai Utara Pulau Jawa). Daerah dipergunakan mengacu pada pengertian
administrasi daerah otonom, yang di Indonesia adalah Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota. Sementara itu kawasan dipergunakan dalam pengertian
fungsional. Dalam hal ini. misalnya suatu wilayah provinsi, berdasarkan
fungsinya dalam terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Contoh yang
lain wilayah kabupaten (yang berdasarkan pengertian administrasi merupakan
Daerah Otonom) mencakup baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dalam
skala wilayah yang lebih kecil lagi, wilayah Kota berdasarkan fungsinya terdiri
dari kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan,
kawasan industri, dan sebagainya.
Perencanaan kota (atau wilayah/kawasan perkotaan) mengacu pada pengertian perencanaan
secara umum sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam
hal ini yang menjadi domainnya adalah sektor publik, yang dalam skala spasial
objeknya adalah kota atau kawasan perkotaan.
KONFLIK MASYARAKAT KOTA DENGAN
DESA
Konflik yang terjadi antar warga desa akhir-akhir ini semakin sering
menjadi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik. Beragamnya
masalah konflik yang timbul mulai dari masalah yang sepele, saling mengejek
antar pemuda, sampai persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar warga
desa akhir ini patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.
Salah satu potensi konflik yang
terjadi pada masyarakat desa secara langsung dan terbuka adalah antara warga
dusun (masyarakat kampung) dengan warga perumahan (masyarakat pendatang)
sebagai masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat
yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman baru di daerah pinggiran
kota atau pinggiran pedesaan yang terjadi interaksi sosial sehingga terjadi
tumpang tindih nilai-nilai tradisional peralihan menuju nilai-nilai modern.
Pada masyarakat desa transisi,
peluang konflik antara warga perumahan dengan warga dusun tersebut bisa
terjadi akibat dari adanya pihak ketiga, yakni pihak developer perumahan dalam
pembangunan sarana dan prasarana yang selalu mengabaikan pembangunan di dusun,
sehingga menimbulkan kecemburuan sosial warga dusun, kurang memberikan
peluang integrasi sosial antara warga perumahan dengan warga dusun, serta
kesempatan peluang kerja bagi warga dusun sebagai masyarakat asli yang sudah
lama bertempat tinggal di desa tersebut.
Pada masa lalu masyarakat desa
dikenal dengan sifat gotong royong. Gotong royong merupakan suatu bentuk saling
tolong menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia. Berdasarkan sifatnya
gotong royong terdiri atas gotong royong bersifat tolong menolong dan bersifat
kerja bakti. Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk
kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok,
membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani
permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong
royong semacam ini merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial.
Gotong royong merupakan perilaku
yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris).
Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan
kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk
melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan
bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong semacam ini merupakan salah
satu bentuk solidaritas sosial. Dalam masyarakat primer (umumnya terjadi
pedesaan) dicirikan masyarakat yang guyub,
teposelero, dan jalinan
kerjasamanya erat. Tetapi dalam masyarakat tipe sekunder justru terjadi
sebaliknya.
Dahulu masyarakat desa dalam khasanah
sosiologi dikenal dengan sebutan masyarakat primer. Namun kini proses
solidaritas sosial dan tingkat partisipasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Proses memudarnya ikatan kerjasama itu disebabkan berbagai faktor, misalnya:
masuknya nilai-nilai kapitalisme, perubahan sosial budaya, migrasi, urbanisasi,
dan lain-lain.
Selain itu pada era globalisasi dan
informasi telah terjadi perubahan pada berbagai aspek yang mendorong
keterbukaan pada hampir di semua aspek dan sistem kehidupan manusia, termasuk
pada masyarakat desa. Pengaruh globalisasi ini antara lain menyebabkan
terbentuknya masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan
masyarakat yang di dalamnya terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun
temurun tinggal di desa tersebut dan masyarakat pendatang yang baru bertempat
tinggal di desa tersebut.
Karakteristik masyarakat desa
transisi ini meliputi: (a) terjadinya tumpang tindih antara nilai-nilai
tradisional dengan proses modern. Hal ini dipertegas Riggs (1998) yang
menyebutkan terjadi pola campuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses
modern. Disatu sisi nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku kehidupan
masyarakat desa untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi lain
nilai-nilai tradisional yang positif harus bisa dipertahankan dan tidak harus
dihilangkan, akan tetapi dikelola secara proporsional dan fungsional,
seperti nilai-nilai solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa, tradisi soyo (membantu membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah),
tradisi ngelayat (mendatangi keluarga tetangga yang ditimpa
musibah meninggal), tradisi rewang (membantu tenaga tetangga yang punya hajatan),
tradisi klontang (memberi sumbangan uang kepada tetangga yang ditimpa
musibah kematian dimasukkan ke dalam kardus aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan uang pada tetangga/warga yang
menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya; (b) masyarakat menjadi
heterogen, seperti: tingkat pendidikan, perkerjaan, dan kepercayaannya; (c)
terjadinya pembangunan perumahan baru di desa pinggiran yang tidak
memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan bisa terjadinya
pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun masyarakarat pendatang dengan
masyarakat asli, dan kecemburuan sosial; (d) kawasan desa pinggiran kota,
kawasan di mana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri,
perdagangan, dan peru-mahan yang membawa dampak positif, yakni memberikan
kesempatan kerja non pertanian bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi
negatifnya terjadi konflik antara masyarakat asli dan pendatang; (e) masyarakat
desa yang mengalami peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris
(pertanian) menuju mata pencaharian non pertanian.
Kondisi tersebut terutama
terjadi pedesaan, khususnya masyarakat desa yang letaknya di pinggiran
kota karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat perdagangan
serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis. Perubahan
ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi tersebut dalam pergeseran
solidaritas.
Guna memelihara nilai-nilai
solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan
di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung
karena ikatan kultural sehingga munculnya kebersamaan komunitas yang
unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada
akhirnya menum-buhkan kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial
adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan suatu
keadaan hubungan antara individu atau kelom-pok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman
emosional bersama.
Solidaritas sosial adalah perasaan
yang secara kelompok memiliki nilai-nilai yang sama atau kewajiban moral untuk
memenuhi harapan-harapan peran (role expectation). Sebab itu prinsip
solidaritas sosial masyarakat meliputi: saling membantu, saling peduli,
bisa bekerjasama, saling membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung
pembangunan di desa baik secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas sosial yang
telah ada pada masyarakat kita secara terus menerus harus tetap dilestarikan
dari generasi ke generasi berikutnya akan tetapi karena dinamika budaya tidak
ada yang statis, terjadilah beberapa perubahan secara eksternal dan internal.
Unsur kekuatan yang merubah adalah modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi
solidarits sosial. Selain itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain: (a) meningkatnya tingkat pendidikan anggota
keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan lebih memahami arti dan
kewajiban mereka sebagai manusia, (b) perubahan tingkat sosial dan corak gaya
hidup kadang-kadang menciptakan kerenggangan di antara sesama anggota
keluarga, (c) Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan diri
sendiri dan keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.
Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam masyarakat desa
antara lain: (a) Adanya kecenderungan pada masyarakat kita, khususnya
masyarakat desa transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan
terhadap orang lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa
mengakibatkan terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut. (b) Semakin
menipisnya tingkat saling percaya dan tolong menolong dalam kehidupan
masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial dalam
proses kehidupan.
Upaya memelihara solidaritas
sosial dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidaklah
semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan terus berkembang
menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat desa, khususnya desa
transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang modern yang mementingkan
sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai kearifan lokal? sementara
nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai kearifan dan sejalan
dengan nilai budaya yang ada.
Nilai-nilai solidaritas
sosial pada masyarakat desa transisi: (1) tumbuh dari
pertautan (integrasi) antara nilai tradisi lokal
dengan nilai modern, akibat terjadinya interaksi antar
kedua warga tersebut, (2) Nilai-nilai solidaritas yang memiliki kearifan lokal
pada masyarakat dusun dan masyarakat perumahan yang positif harus dipelihara
seiring dengan banyaknya pembangunan perumahan baru di wilayah
pedesaan, karena nilai-nilai tersebut cenderung
meningkatkan partisipasi dalam pembangunan. Pihak pengembang
perumahan berkewajib-an mengontrol dan melakukan kerjasama
dengan aparat desa dan tokoh masyarakat di
lingkungan masing-masing terhadap proses
sosial yang berkembang dipemukiman baru, agar segala gejala negatif
yang muncul dapat segera diantisipasi, misalnya gejala
segregasi sosial (mengabaikan
kelangsungan sosial dan budaya karena
menurut perhitungan ekonomi dianggap
tidak menguntungkan developer), konflik sosial, dan
dislokasi sosial (perubahan pemukiman penduduk dalam jumlah besar
dan waktu relatif cepat) sehingga menimbulkan masalah sosial.
sumber
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSpbhs3xhIDcZ5OlLMZE6mfiNCvjOxo_BxRErSrg1rheuGK30sMWHv7uknnNKfwDnMKxtRkQjbcxUBJ89U8jlesPVK1KIt-cQ3wKlBQP2Er3gDyQ_fH4gVQlo2LdpfHBh4imZlrnpCkxw/s1600/Kota-Jakarta.jpg
http://y4ser4rafat.files.wordpress.com/2011/01/gt-masyarakat.jpg
Diposkan oleh wahid di 01:14
Jepang Bangun Flyover
dalam Gedung
Foto:
Gedung "Beehives"/ Daily Mail
seperti kurangnya ruang untuk membangun jalan raya menghalau
pembangunan infrastruktur.
Ketika masalah ruang menghadang, mereka berhasil membuat alternatifnya, yakni
membangun flyover JAKARTA - Para
insinyur di Jepang seakan tidak akan membiarakan masalah kecil yang melewati
blok gedung perkantoran, di Osaka, Jepang.
Ada pun gedung yang dilewati flyover yakni perkantoran setinggi 16 lantai, yang
bagian bawahnya dibuat lubang cukup besar sesuai dengan luasnya flyover.
Demikian yang dikutip dari situs Daily Mail, Selasa
(31/1/2012).
Karena dilalui flyover dan kesibukan pengguna gedung, maka masyarakat sekitar
menyebut gedung tersebut dengan nama Beehives (sarang tawon).
Sementara itu, untuk konstruksi, bangunan ini memiliki konstruksi ganda dengan
penampang lingkaran baja. Sehingga jalur flyover bisa melalui lantai lima dan
lantai tujuh gedung tersebut tanpa gangguan.
Untuk lift yang beroperasi, hanya sampai lantai empat, yang kemudian akan
transit ke lift lainnya yang ada di lantai delapan.
Tidak hanya dari segi keselamatan saja yang dipikirkan para arsitek Negeri
Sakura, kenyamanan pun turut dipertimbangkan dengan mendesain gedung sedemikian
rupa agar tidak berguncang saat kendaraan berlalu lalang di bawahnya.
Sumber : www.property.okezone.com/jepang-bangun-flyover-dalam-gedung
Permasalahan Perkembangan Daerah Perdesaan Menjadi Perkotaan
Daerah
perdesaan dapat didefinisikan sebagai daerah yang memiliki kepadatan penduduk
rendah dengan kriteria ekonomi, sosial, dan geografis tertentu. Kriteria
ekonomi pedesaan sangat tergantung atau mengandalkan dari pendapatan pertanian.
Kriteria sosial, menunjukkan prilaku kehidupan masyarakat yang sangat terkait
dengan pertanian dan kepadatan penduduk yang rendah. Kriteria geografis, daerah
perdesaan lokasinya relatif jauh dari daerah perkotaan.
Jika
suatu daerah perdesaan mengalami perkembangan maka akan terjadi aktifitas yang
tinggi sehingga dapat memicu peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan
meningkatnya pemanfaatan suatu sumberdaya alam tertentu maka akan dapat
mengurangi atau mempengaruhi potensi sumberdaya yang lain. Perkembangan daerah
perdesaan yang tidak terkendali berpotensi mengakibatkan dampak negatif
terhadap lingkungan, seperti pembukaan lahan baru serta urbanisasi.
Perubahan
daerah perdesaan menjadi perkotaan dapat dilihat berdasarkan perubahan
karakteristik berikut ini. Segregasi: pemisahan daerah-daerah perdesaan ke
dalam blok-blok dengan harga perumahan yang berbeda kelasnya. Imigarasi
terpilih: adanya beberapa orang yang bekerja pada tempat dan kondisi sosial
ekonomi yang terpisah. Adanya fenomena ulang-alik (comuniting) pekerja kelas
menengah. Serta kondisi geografis yang sudah sulit dikenali perbedaan dengan
hirarkis sosial yang terpisah.
Selain
permasalahan perkembangan perdesaan menjadi perkotaan, daerah perkotaan itu
sendiri memiliki banyak permasalahan akibat dari urbanisasi dan pembukaan lahan
baru. Permasalahan yang sering timbul antara lain; (1) terjadinya kenaikan
temperatur pada titik-titik tertentu yang disebut juga polusi temperatur
(thermal pollution), (2) ketidaknyamanan (discomfort index), (3) tingkat
pencemaran. Pada daerah perkotaan kenaikan temperatur biasanya terjadi pada
titik-titik tertentu akibat dari aktifitas kendaraan bermotor dan industri.
Kepadatan kendaraan bermotor merupakan pemicu utama terjadinya kenaikkan temperatur, selain itu dapat
juga karena aktifitas industri serta kepadatan permukiman. Akibat dari
peningkatan temperatur tersebut mengakibatkan meningkatnya indeks ketidaknyamanan.
Meningkatnya indeks ketidaknyamanan juga dapat diakibatkan karena faktor
pencemaran, baik pencemaran udara, tanah, maupun air. Dengan demikian dapat
kita lihat bahwa sumber dari permasalahan perkotaan adalah penduduk itu
sendiri. Hal tersebut juga dipicu dengan prilaku masyarakat yang kurang
memikirkan lingkungannya sebagai akibat dari cara pandang yang memandang
lingkungan itu adalah milik publik dimana tidak ada batasan dalam
pemanfaatannya.