Rabu, 03 Oktober 2012


antara
BANDUNG (bisnis-jabar): Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangikan 100 alat pencacah sampah kepada sejumlah kelompok masyarakat pengelola sampah lingkungan. Bantuan tersebut diharapkan mampu mengurangi permasalahan sampah.
Menurut Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Jawa Barat Edi M Nasution alat pencacah sampah itu mampu memproses limbah organik maupun sampah plastik dan kertas sebanyak 20 hingga 50 kilogram per jam. “Dan dapat digunakan selama 24 jam tanpa henti,” katanya.
Ke depan menurutnya, sesuai dengan petunjuk Gubernur, pihaknya berencana membagikan alat ini kepada kelompok masyarakat yang sudah memiliki pengelola sampah. “Paling tidak sekitar 100 unit,” katanya dalam rilis yang diterima bisnis-jabar.
Pengadaan alat tersebut juga akan melibatkan pengrajin alat kecil menengah. Dinas Kimrum, ujar Edi akan memberikan pendampingan atau pelatihan penggunaan alat kepada pengelola sampah.
Satu alat pencacah sampah sendiri sudah diserahkan pada SD BPI Halimun yang memiliki ekstrakulikuler pengelolaan sampah. Menurut Kepala Sekolah Dyah Arianti alat tersebut sangat berguna dalam memberikan pembelajaran kepada para siswa dalam mengelola sampah. Lebih dari itu dengan alat pencacah sampah, dapat mengurangi volume penyimpanan sampah.
“Dengan demikian semakin meningkatkan daya tampung bank sampah yang selama ini sudah ada di SD BPI Halimun,” katanya. (ajz)











Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, telah menerima kunjungan kehormatan Managing Director General of the ADB (Asian Development Bank), Mr. Rajat M. Nag, yang disertai oleh antara lain oleh Prof. Iwan Jaya Aziz, dan Mr. Ashok Sharma, Senior Director of the ADB. Menteri PPN disertai oleh antara lain Wamen PPN/Wakil Kepala Bappenas, Dr. Ir. Lukita D. Tuwo, MA, Sesmen PPN/Sestama Bappenas, Dr. Slamet Seno Adji, MA, Deputi Bappenas Bidang Pendanaan Pembangunan, Ir. Wismana Adi Suryabrata, MIA, Deputi Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Regional Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Dr. Luky Eko Wuryanto, dan Staf Ahli Kementerian PPN Bidang SDM dan Penanggulangan Kemiskinan, Dr. Ir. Imron Bulkin, MRP. Pertemuan diadakan di Ruang Tamu Menteri dan berlangsung dari pukul 09.30 sampai dengan pukul 10.05 WIB. Pertemuan ini dilanjutkan dengan penyelenggaraan Seminar tentang Asia 2050, Realizing the Asian Century, yang diadakan di Ruang Serba Guna 1-2. 
Pada pertemuan di Ruang Tamu Menteri, Mr. Rajat M. Nag mengatakan bahwa prioritas Country Partnership Strategy ADB telah sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia. Mr. Nag menambahkan bahwa ADB juga mendukung upaya Indonesia untuk menurunkan kemiskinan maupun untuk membangun infrastruktur melalui skim PPP. Dalam hal PPP, Mr. Nag mengatakan bahwa disadari kendala utamanya saat ini adalah akuisisi lahan untuk pembangunan infrastruktur publik tersebut. Dilain pihak, Mr. Nag mengingatkan, agar Indonesia dapat dengan bijak menseimbangkan kepentingan publik dengan kepentingan dunia usaha.
Pada sesi seminar di Ruang Serba Guna, Mr. Ashok Sharma menyampaikan dua skenario Asia 2050, yaitu skenario “The Asian Century” dengan PDB Asia mencapai USD 148 triliun, dan skenario “The Middle Income Trap” ketika PDB Asia mencapai hanya USD 61 triliun. Untuk mencapai skenario pertama dan menghindari skenario kedua, negara-negara Asia perlu menempuh beberapa kebijakan yang utamanya sebagai berikut: mengupayakan ‘inclusive growth’, menanggulangi masalah perubahan iklim, dan meningkatkan perbaikan ‘governance’ dan ‘institution building’.
Menteri PPN menyampaikan bahwa Indonesia telah jauh hari menempuh berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain: kebijakan untuk menjamin pembangunan yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia; kebijakan untuk mengurangi kemiskinan melalui pendekatan 4 kluster; kebijakan perluasan program jaminan sosial; kebijakan reformasi birokrasi; kebijakan ‘debottlenecking’ yang menyangkut tidak saja pembangunan infrastruktur secara fisik tetapi juga menyangkut upaya mengurangi hambatan pada kegairahan dunia usaha untuk berinvestasi yang disebabkan oleh peraturan yang berlebihan; kebijakan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim; dan kebijakan untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional, melalui berbagai forum seperti ASEAN, APEC, dan PBB, dan melalui penjalinan kerjasama Selatan-Selatan maupun melalui kerjasana trilateral.
(Humas)







Konsolidasi Tanah: Mewujudkan Pembangunan Tanpa Penggusuran
Ketidakseimbangan laju pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan akan tanah telah lama menjadi masalah yang cukup memusingkan Pemerintah. Permasalahan akan semakin terlihat dengan jelas ketika upaya penyediaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan sektor: Perumahan, Pertanian dan Kegiatan Usaha serta Infrastruktur lingkungan yang tidak memadai.

Inilah salah satu kondisi pemicu tumbuh suburnya permukiman kumuh atau slum area di wilayah perkotaan (baik di tengah-tengah maupun di pinggiran kota), lokasi kegiatan usaha yang semrawut serta lokasi pertanian tradisional yang minim sarana prasarana.

Jika dilihat dari sisi pertanahan, yang menjadi akar penyebab munculnya kondisi seperti ini adalah karena faktor kepemilikan tanah yang tidak teratur, baik luas, bentuk, batas maupun letak posisi tanah di atas permukaan bumi. Untuk menata kondisi seperti ini banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya melalui pembebasan tanah, akan tetapi kegiatan pembebasan tanah memerlukan dana yang tidak sedikit, proses yang berbelit dan waktu yang cukup lama. Berdasarkan akar masalah tersebut di atas, maka kegiatan konsolidasi tanah dianggap sebagai salah satu alternatif pilihan yang cukup ideal.

Konsolidasi Tanah.
Pada prinsipnya, Konsolidasi Tanah merupakan salah satu alat untuk melakukan penataan wilayah (perkotaan maupun perdesaan) yang minim atau miskin sarana dan prasarana menjadi sebuah wilayah yang dilengkapi dengan sarana-prasarana yang ideal serta selaras dengan tata ruang.

Sebagaimana definisi Konsolidasi Tanah yang dijelaskan dalam penjelasan pasal 11 PP No.13 Tahun 2010, “Konsolidasi Tanah adalah Kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) sesuai RTR Wilayah serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan, dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.“

Sesuai dengan motto Konsolidasi Tanah “Membangun Tanpa Menggusur“, kegiatan penataan melalui konsolidasi tanah tidak menggusur masyarakat keluar dari lingkungan huniannya, masyarakat tetap tinggal dalam lingkungannya sehingga benar-benar ikut menikmati pembangunan. Hal ini tentunya selaras dengan salah satu prinsip Covenant International 2005, yang disahkan melalui UNDP – PBB, Masyarakat tidak boleh digusur keluar dari lingkungan huniannya secara paksa dan sewenang-wenang.

Kegiatan penataan yang dilakukan dalam konsolidasi tanah terhadap bidangbidang tanah yang bentuk, luas dan letaknya tidak teratur dilakukan berbagai cara, di antaranya: memotong, menggeser, memindahkan, memecah, menggabungkan, menukarkan dan menghapuskan–sehingga dihasilkan:

1.Bentuk bidang tanah baru, yang lebih rapih, teratur, tertib dan memiliki akses jalan, yang selanjutnya diserahkan kembali kepada pemilik tanah disertai Sertifikat Hak atas Tanah yang baru.

2.Tanah-tanah sumbangan pemilik tanah, disebut STUP (Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan – yang luasnya disepakati bersama). Sebagian dari STUP digunakan untuk lokasi sarana dan prasarana berupa fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas umum (Fasum) berupa : jalan, selokan, tempat ibadah, sekolah, taman, puskesmas dan lain sebagainya. Sebagian lainnya dipakai untuk TPBP (Tanah Pengganti Bea Pembangunan) berupa bidang-bidang (kapling) tanah matang, yang siap pakai, yang akan diserahkan kepada masyarakat pemilik tanah yang luasnya paling kecil, atau pihak lain dengan membayarkan dana kompensasi TPBP. Dana kompensasi TPBP selanjutnya akan dipakai untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang dihasilkan dalam penataan.

Di Indonesia Konsolidasi Tanah dilaksanakan untuk pertama kalinya pada Tahun 1981, berupa konsolidasi tanah perkotaan di Renon - Bali, dan selanjutnya menyebar ke Propinsi lainnya. Hingga saat ini hampir seluruh Propinsi telah dilaksanakan Konsolidasi Tanah kecuali DKI Jakarta, dengan hasil lihat gambar 3 (berdasarkan data SIKONTAN–Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI, Tahun 1980 – 2009 ).

Dasar Pelaksanaan
Secara taktis operasional pelaksanaan Konsolidasi Tanah berada langsung di daerah, serta dilaksanakan oleh Tim Kendali (Tingkat provinsi di bawah Pembinaan Gubernur), Tim Koordinasi (Tingkat Kabupaten/Kota diketuai oleh Bupati/Walikota) yang dibantu oleh Tim SATGAS (Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota) sedangkan Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI bertanggung jawab dari sisi pembinaan teknis administrasi.

Sejak awal hingga sekarang, pelaksanaan operasional konsolidasi tanah di Indonesia berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah beserta seperangkat Petunjuk Pelaksanaan-nya (Juklak).

Tentunya, pelaksanaan konsolidasi tanah bukan tanpa alasan, sebab pelaksanaannya berlandaskan pada azas kebermanfaatan bersama. Adapun manfaat konsolidasi tanah dapat dinikmati manfaatnya oleh pemerintah daerah (Pemda) maupun pemilik tanah. Pertama, bagi pemda, manfaatnya yang dirasakan antara lain: percepatan pembangunan infrastruktur sesuai dengan rencana tata kota tanpa adanya pembebasan tanah, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan peningkatan nilai tanah, dan terciptanya lingkungan yang teratur, serasi, selaras, seimbang dan sehat.

Kedua, bagi pemilik, tanahnya akan terbuka akses jalan, adanya jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah karena tanah disertipikatkan, pemilik akan menikmati langsung nilai harga tanah yang naik. Tentunya, upaya konsolidasi tanah sebagai upaya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penyediaan tanah untuk pembangunan baik tanah permukiman, tanah pertanian maupun tanah untuk kegiatan usaha, akan terealisasi jika sinergi antara BPN, Pemda dan masyarakat terjalin dengan baik.

Sumber:
1. Data-data Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI
2. Blog : Land’s Diary (www.landdiary.blogspot.com)









                           



Anggaran besar tak jamin Medan bebas banjir 

Sumber:  http://waspada.co.id/ 27 November 2011
MEDAN – Demi mengatasi masalah banjir di Kota Medan, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan telah mengucurkan dana hingga Rp179 miliar setiap tahun. Namun, Medan hingga kini masih saja dihadapkan masalah yang sama yakni banjir.
Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melalui Bina Marga Medan, namun demikian, dinilai tidak bisa memaksimalkan jumlah anggaran yang besar tersebut untuk mengatasi masalah banjir di Medan yang kerap datang jika hujan deras mengguyur.
Melihat permasalahan ini, analis tata kota Rafriandi Nasution, mengatakan sebenarnya ada tiga faktor yang menyebakan masalah banjir di suatu daerah tidak bisa diatasi meski jumlah anggaran besar telah dikucurkan pemerintah. Yang pertama faktor alam, untuk hal ini sebesar apapun anggaran dan semaksimal apapun kinerja pemerintah untuk mencegah banjir akan sia-sia karena faktor alam merupakan salah satu faktor yang tidak bisa diprediksi.
“Sebagai contoh gempa bumi di Jepang beberapa waktu lalu, kurang canggih apa pemerintah Jepang dalam mengantisipasi datangnya berbagai bencana namun karena sudah faktor alam maka yang seperti kita lihat, banyak korban yang berjatuhan. Jika tuhan sudah berkehendak, kita hanya bisa pasrah,” ujarnya kepada Waspada Online tadi malam.
Yang kedua, lanjut Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Pemukiman Kota (LP3K) ini, masalah perencanaan dari para stake holder. Sebesar apapun anggaran yang dikucurkan pemerintah tanpa ada perencanaan yang matang juga akan sia-sia. “Mereka bisa saja membangun, namun karena kurangnya perencanaan mereka tidak bisa merawatnya, ini kan jadi terkendala,” ujarnya.
Dan yang ketiga faktor pengelolaan sumber daya manusianya. Ketiga faktor tersebut sangat penting dalam mengatasi bencana, baik banjir maupun bencana alam lainnya seperti gempa bumi maupun tanah longsor. Sebenarnya, katanya, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi banjir di beberapa daerah di Indonesia masih relatif kecil jika dibandingkan anggaran yang dikelaurkan pemerintah di luar negeri untuk masalah yang sama. Dan ketika ditanya apakah pemerintah Kota Medan sudah melakukan upaya yang maksimal untuk mengatasi masalah banjir di Medan, dirinya mengatakan, “Belum karena sampai sekarang Medan masih saja dilanda banjir.”
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Medan Ikrimah Hamidy, mengatakan anggaran yang dikucurkan Pemko Medan untuk Dinas Bina Marga hampir tiap tahun meningkat. Begitu juga dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim), akan tetapi manfaatnya belum dirasakan warga Kota Medan. “Anggaran itu sampai saat ini belum dirasakan warga dan hasilnya belum maksimal,” kata Ikrimah.
Menurutnya, ada kesalahan dalam penggunaan anggaran yang dilakukan Pemko Medan. Kita menganggap ada kesalahan dalam pengelolaan anggaran. Karena itu harus melakukan evaluasi terkait penggunaan anggaran,” katanya.
Di bagian lain, dia juga menyampaikan DPRD Kota Medan merasa perlu untuk membuat Panitia Khusus (Pansus) penanganan drainase. Hal itu bertujuan dalam membantu Pemko Medan menyelesaikan infrastruktur di Kota Medan. Pansus itu, kata Ikrimah, bertujuan mengetahui permasalahan mendasar dalam penanganan drainse di Kota Medan. “DPRD Medan ingin mendukung kerja Pemko, dalam hal ini Dinas Bina Marga,” ujarnya.
Sedangkan Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Medan, Jumadi SPDI menyampaikan, anggaran Pemko Medan ke Dinas PU Bina Marga tidak ada manfaat sama sekali. Sebab selama ini Kota Medan tetap saja tidak terlepas dari banjir. Editor: ANGGRAINI LUBIS









Pengerukan Citarum Tak Jamin Bandung Bebas Banjir 

Sumber: http://www.inilahjabar.com/  9 November 2011
INILAH.COM, Bandung – Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto mengakui pengerukan Sungai Citarum tidak bertujuan membebaskan kawasan sepanjang aliran sungai agar bebas dari banjir. Namun dia menegaskan, pengerukan akan melancarkan aliran air, sehingga kemungkinan banjir bisa diperkecil.

“Kita tidak bisa menjamin Bandung akan bebas dari banjir akibat Citarum. Tapi pengerukan ini kita jamin akan mengurangi potensi itu,” ujar Djoko usai peresmian Pelaksanaan Rehabilitasi Penanggulangan Banjir Sungai Citarum di Baleendah Kabupaten Bandung, Rabu (9/11/2011).
Dia menambahkan, penanganan limbah di sepanjang sungai pun bukan jadi target kementeriannya. Karena itu dia mengaku penanganan kawasan Citarum tidak bisa dilakukan satu kementerian saja, namun harus melibatkan kementerian lain, termasuk pemerintah daerah.
“Upaya yang dilakukan sekarang memang tidak optimal, karena itu harus ada pengelolaan yang terpadu dan terkoordinasi dengan baik. Tidak mungkin satu menteri menyelesaikan semua masalah Citarum, harus melibatkan kementerian lain,” kata Djoko.
Sementara itu, untuk pengerukan yang dilakukan Kementerian PU, pihaknya sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,3 triliun. Dana itu dialokasikan untuk 3 tahun. Total biaya untuk menyelesaikan Citarum sendiri diakui Djoko sangat besar, mencapai puluhan triliun.
“Penanganan Citarum tidak bisa dilakukan sebentar, tapi memerlukan waktu sekitar 10-15 tahun. Total biaya mencapai Rp35 triliun untuk 15 tahun,” ungkap dia.[jul]


Sistem Pompa tidak Jamin Bekasi Bebas Banjir

Sumber:  http://www.pikiran-rakyat.com/ 21 November 2010
KISMI DWI ASTUTI/”PRLM”
SEBUAH pompa dipasang di aliran Kali Bekasi di Jln. Kartini Kota Bekasi untuk menyedot air yang melimpah saat hujan agar tidak terjadi banjir, Minggu (21/11). Selain membutuhkan pompa dengan kapasitas besar, Kota Bekasi perlu memperbaiki saluran drainase yang ada secara menyeluruh dan membangun tandon air.*
BEKASI, (PRLM).- Penerapan sistem pompa air di sejumlah titik yang sering tergenang tidak menjamin Kota Bekasi bebas banjir. Sebab, selain disebabkan oleh air limpasan dari sungai banjir di Kota Bekasi juga banyak disebabkan karena sistem drainase yang semakin memburuk. Hal itu diungkapkan Wakil Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi menanggapi sejumlah keluhan masyarakat mengenai banjir cileuncang maupun banjir akibat limpasan ai sungai di beberapa wilayah di Kota Bekasi.
Dikatakan Rahmat, Minggu (21/11), saluran sekunder atau saluran penampung air limpas di bagian barat Kota Bekasi seharusnya terintegrasi dengan banjir kanal timur (BKT) Jakarta Timur. Selain itu, sejumlah tandon air terutama di wilayah Bekasi bagian timur perlu segera terealisasikan. “Dua solusi inilah yang akan kami sampaikan ke DPRD dan agar juga dibahas bersama dengan Pemprov DKI Jakarta. Sebab, pembelian pompa di setiap titik pun tidak akan ada gunanya jika sistem drainase kita belum baik. Lihat saja, hampir di seluruh wilayah sistem drainasenya rusak parah sehingga banjir sering terjadi,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan pria yang akrab disapa Pepen ini, sistem drainase yang terintegrasi akan menunjang saluran pembuangan air ke laut. Sebab, selama ini saluran pembuangan air hanya mengandalkan saluran primer dan sekunder yang ada di Kota Bekasi. Padahal, kinerja saluran itu sampai sekarang tidak efektif disebabkan oleh topografi atau kontur permukaan Kota Bekasi hampir datar, hanya 27 meter di atas muka laut. Oleh karena itu, tetap mengandalkan saluran primer dan sekunder menurut Pepen tidak akan membantu banyak.
Saluran. lanjut Pepen, semakin buruk seiring dengan padatnya penduduk yakni sekitar 2,3 juta jiwa. “Saluran buangan yang paling efektif memang harus melalui BKT,” tambahnya. Untuk menunjang rencana tersebut, pihaknya butuh foto udara soal wilayah Kota Bekasi. “Dari foto udara itulah, kita bisa menggambar saluran yang terintegrasi,” katanya. Disayangkan Pepen, foto udara Kota Bekasi yang terakhir ada pada tahun 1998. “Kondisi saat itu dengan saat ini tentu sudah jauh berbeda sehingga foto udara tahun 1998 sudah tidak bisa menggambarkan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi Kota Bekasi. Sebab, pastinya mengalami perubahan seiring dengan pertambahan penduduk,” tutur Pepen.
Selain integrasi sistem drainase, Kota Bekasi dinilai Pepen juga harus membangun tandon air di wilayah Bekasi bagian timur, misalnya di Kecamatan Pondok Melati, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Perumnas 3 Bekasi Timur, dengan luas masing-masing sekitar 1 hektare. “Rencana ini telah berkali-kali diusulkan, tetapi dananya selalu tidak ada. Sekalinya ada harapan, kita mengalami defisit sehingga dana untuk projek ini pun menguap dan tidak pernah terealisasi sampai sekarang,” ungkapnya. Menurut dia, untuk projek ini diperkirakan akan menelan dana hingga Rp 100 miliar.
Saat ini, Kota Bekasi tengah menyiapkan sebuah bangunan pengendali banjir di samping Islamic Center tepatnya di Kali Rawa Tembaga untuk menanggulangi banjir di wilayah perkotaan, yakni di sekitar aliran kali tersebut. Hanya saja, pompa dengan kekuatan besar seharga Rp 7,5 miliar ini pun hanya akan menanggulangi sekitar 75 persen masalah banjir cileuncang dan banjir akibat limpasan air kali di sekitar wilayah ini. Sementara, wilayah lainnya di sekitar Kali Bekasi maupun kali lainnya masih terancam banjir saat musim hujan tiba. (A-155/A-147)***







Refleksi Kebijakan Program Perbaikan Kampung Terpadu (MHT Plus) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

·         Tinggalkan Komentar
Jakarta, walaupun mendapat predikat kota –Mega Politan-, namun nyatanya masih memiliki permasalahan pada permukiman, yakni masih banyaknya terdapat permukiman kumuh yang menghiasi sudut-susdut kota Jakarta. Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) DKI Jakarta di Balaikota, Selasa, 5/5/2009, terpaparkan bahwa jumlah RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta berjumlah sekitar 265 RW[1]. Di Jakarta Barat terdapat 97 RW kumuh yang berada di 40 Kelurahan dan 8 Kecamatan, di Jakarta Timur, terdapat 51 RW kumuh. Di Jakarta Pusat sebanyak 69 RW, terdiri dari 24 Kumuh Ringan, 41 Kumuh Sedang dan 4 Kumuh Berat. Sedangkan di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, dari total 24 RW terdapat 4 RW termasuk RW Kumuh. Di Jakarta Utara berdasarkan data pada 2008, terdapat 79 RW kumuh. Adapun di wilayah Jakarta Selatan terdapat 44 RW kumuh, terdiri dari 31 RW Kumuh Sedang dan 13 RW Kumuh Ringan.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut Pemerintah DKI Jakarta melakukan berbagai macam upaya untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Diantara program yang dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk menanggulangi permasalahan permukiman adalah dengan digulirknnya program perbaiakan kampung terpadu atau yang lebih dikenal dengan nama Program Muhammad Husni Thamrin (MHT). Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) merupakan program yang digulirkan dalam rangka mewujudkan visi jakarta (2007-2012) yaitu“Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”. Untuk mewujudkan visi yang ditetapkan, maka misi yang digagas adalah : Membangunan tata pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-kaidah “good governance”; melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima; memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan; membangun prasarana dan sarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan; menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan[2].


Sejarah Program MHT Jakarta
Program peningkatan kampung atau yang biasa dikenal sebagai proyek Muhammad Husni Thamrin merupakam suatu program yang digulirkan sejak tahun 1969 oleh pemerintahan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pada awalnya nama dari program ini adalah pembangunan kualitas kampung ( kampung improvement project – Jakarta Urban Development Project/ JUDP). Focus dari program ini adalah penataan pemukiman kumuh yang berada di wilayah Jakarta. Program ini terus berkembang dan dikembangkan hingga hari ini dan kemudian dikenal dengan nama kampung improvement program/Project Muhammad Husni Thamrin (KIP/MHT). Awalnya program ini berfokus pada pembenahan sarana dasar fisik saja namun kemudian fokusnya lebih holistic dengan konsep Tri Binanya yaitu bina sosial, bina ekonomi, dan bina fisik.
Program perbaikan kampung ini, yang dilakukan semenjak gubernur Ali Sadikin memerintah didasarkan pada program pemerintah Belanda yang dinamakan dengan kampoengverbetering yang dilaksanakan di Batavia sejak tahun 1934. Kemudian Gubernur Ali Sadikin melanjutkan program belanda tersebut ditahun 1969. Pada tahun 1969, 60% (sedikitnya 3 juta jiwa) dari 4,8 juta penduduk Jakarta, hidup di permukiman kumuh. Menghadapi masalah itu, diperkenalkan proyek perbaikan kampung bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin yang berlangsung dengan sukses sampai 1999. Paradigma terhadap kampung yang semula dianggap bermasalah, akhirnya memiliki jalan keluarnya; apa yang dinamakan Turner dengan urban sebagai solusi (urban as solution), sebuah pendekatan yang melibatkan komunitas, sehingga model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif.
Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) berkembang dari 1969 sampai 1999. Badan-badan internasional, seperti Bank Dunia dan UN Habitat, menilainya sebagai proyek yang berhasil memperbaiki kualitas lingkungan kumuh dan kualitas hidup penghuninya, dengan biaya rendah. Tidak kurang dari 5,5 juta penduduk Jakarta menerima manfaat dari model pendekatan ini. Dalam lingkup nasional, setidaknya 15 juta penduduk yang diam di lebih dari 400 kota di Indonesia menerima manfaat serupa.
Sejak awal, misi proyek MHT adalah investasi kemanusiaan, atau perbaikan sosial (social betterment) menurut Melvin Mark, yang dijabarkan sebagai kebijakan/program sosial (social policy/program). Proyek yang dicetuskan pada 1969, yang mengangkat nama baik kota Jakarta dan pemerintah Indonesia saat itu, sampai saat ini, oleh dunia manajemen perkotaan, masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menangani masalah permukiman perkotaan. Keterbatasan dana, majemuknya masalah perkotaan, dan penduduk kota yang terus bertambah, merupakan tantangan yang dihadapi pada waktu itu, juga sampai saat ini. Proyek MHT tidak sekadar perbaikan fisik, melainkan seperti yang dikatakan oleh mantan Gubernur Ali Sadikin pada 1977, “Saya berpendapat bahwa kelompok penduduk yang terpaksa harus menempati perkampungan di sela-sela bagian kota yang terbangun rapi itu adalah justru warga kota yang lebih membutuhkan perhatian untuk menikmati hasil pembangunan”.
Dimulainya proyek MHT pada 1969 merupakan tonggak sejarah perubahan dalam tata-ruang maupun manajemen perkotaan. Seperti peristiwa di Eropa Barat setelah revolusi industri, yaitu berubahnya asas perencanaan birokrasi (bureaucracy planning) ke perencanaan advokasi (advocacy planning), proyek MHT merupakan suatu pengakuan atas keberadaan permukiman kampung sebagai bagian dari rajutan perkotaan (urban fabric). Permukiman informal yang terbentuk itu, dilengkapi dengan layanan perkotaan (urban services), seperti prasarana, sarana, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.
Pada 1980, proyek MHT meraih penghargaan dari Yayasan Aga Khan. Pada Pelita III, model pendekatan ini diangkat pemerintah pusat sebagai kebijakan nasional dalam menangani perumahan dan permukiman perkotaan. Pada Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki pada 1996, proyek ini masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menyelesaikan masalah permukiman di negara-negara berkembang. Juga dalam pembukaan Aliansi Kota (Cities Alliance) di Washington DC pada 1999, proyek ini pula yang masih disebut-sebut sebagai proyek yang dapat diandalkan. Sampai 2004, Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, menyatakannya sebagai Praktik Global Terbaik. Sesuai dengan pendapat Sach, untuk memperbaiki kekumuhan dan kemiskinan, layanan dasar perkotaan harus dibangun, terutama prasarana, sanitasi, dan air bersih. Dalam proyek MHT, komponen proyek dilengkapi dengan pembangunan fasilitas pendidikan (gedung sekolah dasar) dan fasilitas kesehatan (Puskesmas).
Pada tahun 2005, dikembangkan kembali persiapan KIP/PMHT dengan paradigma baru yang dikenal dengan nama “dedicated program”dan setahun kemudian di tahun 2006, telah diuji praktekkan pada 5 wilayah DKI Jakarta dengan skala lokasi terbatas dan jumlah dana yang besar. Kegiatan tersebut mendapat penilaian cukup berhasil dan memberikan tingkat perubahan yang signifikan, baik pada kondisi fisik lingkungan maupun perkembangan sosial masyarakat pada lokasi program. Tahun 2007, berdasarkan keberhasilan dedicated program 2006, maka dilanjutkan dengan perbaikan kampung terpadu. Lokasi sasaran adalah 5 wilayah yang sama dengan tahun 2006. Hasil pelaksanaan pada lokasi tersebut memperlihatkan keberagaman antara satu wilayah dengan wilayah lain. Hal keberagaman hasil ini, pada satu sisi dapat menunjukkan indikator input dan proses pelibatan masyarakat secara maksimal, namun pada sisi yang lain dapat juga dilihat sebagai adanya keniscayaan perbedaan dalam pemahaman, konsep, pendekatan, dan metode pelaksanaan di lapangan.
Pendekatan dalam program MHT perbaikan kampung terpadu
Dalam melaksanakan program MHT perbaikan kampung terpadu ini (sebagai contoh di kelurahan Kebon Baru tahun 2008)  pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan konsultan yang mendampinginya menitik beratkan pada pengembangan komunitas terpadu dengan sasaran pada aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan serta aspek fisik lingkungan yang terfokus pada penguatan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan secara mandiri sehingga bersih, sehat dan nyaman. Upaya pendampingan masyarakat dalam perbaikan kampung pada hakekatnya adalah merupakan upaya penguatan bagi kelembagaan warga di tingkat local.
Pendampingan masyarakat lebih dibutuhkan untuk membentuk kembali komunitas sebagai tempat bagi pengalaman manusia dan bertemunya kebutuhan manusia daripada sesuatu yang lebih luas, lebih tidak manusiawi dan struktur-struktur yang tak terjangkau. Pengalaman dan pergaulan manusia secara alamiah adalah kompleks, namun seringkali berbagai program pendampingan pengembangan masyarakat mencoba membentuk landasan komunitas yang lebih kokoh bertumpu pada aspek tunggal dari keberadaan manusia dan menolak aspek lainnya. suatu pendampingan pengembangan masyarakat yang berakar pada kerja sosial akan berkonsentrasi pada penyediaan layanan manusia bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan basis ekonomi komunitas yang bekerja atas asumsi bahwa dari pengembangan ekonomi akan memicu perkembangan hal yang lainnya, dengan demikian mereka mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Besar kemungkinan pengembangan masyarakat berdimensi tunggal seperti ini akan mengalami kegagalan.
Jim Ife dalam bukunya community Development : Creating Community, alternative vision, analysis and practices, mengidentifikasi pengembangan terdiri atas enam dimensi dan keenamnya merupakan dimensi yang penting secara kritis keenam dimensi itu tersebut tidak selalu tersekat-sekat dan berinteraksi satu dengan yang lain secara kompleks. Sering diperdebatkan bahwa satu dimensi lebih mendasar dari dimensi lainnya namun bagi kebutuhan pembentukan suatu model pengembangan komunitas dan dengan merenungkan peran pendamping masyarakat adalah sangat bermanfaat untuk secara mendasar menganggap keenam dimensi tersebut sebagai suatu hal penting, keenam dimensi itu adalah pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, pribadi/spiritual.
Dalam melaksanakan programnya, pemerintah juga mengembangkan konsep tribina menjadi tridaya. Tridaya bertujuan untuk melahirkan masyarakat yang mempunyai keberdayaan dalam dirinya untuk memperbaiki dan memelihara serta mengembangkan fisik permukiman dan lingkungannya, untuk melakukan kegiatan ekonomi guna pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta untuk meningkatkan keberdayaan dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan pendampingan melalui program pemberdayaan masyarakat dalam suatu rangkaian program terintegrasi yang jelas dan berkesinambungan. Inti dari tridaya adalah partisipasi masyarakat, yang diturunkan menjadi:
1.      Pemberdayaan sosial kemasyarakatan yang mungkin lebih tepat disebut sebagai suatu model proses prakondisi, yang mendorong mereka untuk dapat mengekspresikan diri dan aspirasinya dengan mengikatkan diri ke dalam suatu kelompok
2.      Pemberdayaan kegiatan ekonomi sebagai wahana rasional untuk mensejahterakan diri dan kelompok
3.      Pemberdayaan prasarana dan sarana lingkungan untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha ekonomi yang mendukung upaya mensejahterakan diri dan kelompok, maka kondisi prasarana dan saran lingkungan harus ditingkatkan.
Program MHT dan permasalahan yang menyertainya
Program MHT yang telah dinilai berhasil oleh badan-badan dunia dan oleh para ahli perkotaan ternyata pada kelanjutan program di tahun berikutnya mengalami berbagai macam masalah. Perkembangan model yang dilakukan dalam program MHT dilakukan karena disadari bahwa perkembangan kota Jakarta yang sedemikian cepat dibutuhkan suatu respons dan program yang tepat guna dan sasaran dalam rangka menanggapi perkembangan tersebut. Maka dari itu program MHT dikembangkan untuk menyesuaikan perubahan zaman. Program MHT berkembang menjadi MHT perbaikan kampung terpadu . konsep baru ini dikenal pada tahun 2007 yang sebelumnya sudah diawali pada tahun 2006 melalui MHT  “dedicated programe”. Namun pada pelaksanaannya terdapat berbagai macam perbedaan dalam pencapaian hasil. Oleh karenanya pada hasil laporan tentang perbaikan kampung tahun 2008 yang dikeluarkan oleh PT Wahana Prakarsa Utama sebagai konsultan  Dinas Perumahan Pemda Jakarta Pusat, menyimpulkan perlunya keseragaman tentang konsep pengembangan MHT tentang perbaikan kampung terpadu.
Permasalahan berikutnya adalah belum adanya pedoman baku tentang perbaikan kampung terpadu. Pentingnya pedoman baku adalah sebagai arahan terhadap pelaksanaan di tingkat lapangan. Lalu permasalahan berikutnya adalah belum terujinya perbaikan kampung terpadu pada saat ini sebagai solusi pemecahan bidang perumahan di DKI Jakarta. Kita semua menyadari bahwa permasalahan yang ada di Kota Jakarta sudah sedemikian kompleks, diantara masalah-masalah itu adalah masalah perumahan, sosial, banjir, sampah, sanitasi, air bersih, penghijauan, pengelolaan limbah rumah tangga dan transportasi. Program perbaikan kampung terpadu yang telah dilaksanakan pada 5 wilayah di DKI Jakarta selama 2 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2006 dan 2007 memang telah memberikan perubahan fisik lingkungan maupun sosial namun masih perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah program ini kontributif untuk menjadi alternative solusi bagi permasalahan penataan lingkungan pemukiman dan perumahan di DKI Jakarta.
Di lain pihak, warga DKI Jakarta menganggap bahwa program MHT yang dilakukan oleh pemerintah selama 5 tahun ini dianggap jalan di tempat. Hal ini di ungkapkan oleh warga kelurahan Manggarai Selatan. Warga menganggap bahwa program perbaikan kampung terpadu tidak sepenuhnya berhasil dan penanganan masalah perkampungan kumuh pun tidak sepenuhnya tuntas ditangani walaupun tetap mendapatkan Piala Adipura untuk tujuh kali. Menurut Rosmanah-salah seorang warga perkampungan di Jakarta, tak masalah mengejar prestasi kebersihan, tapi yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kemiskinan dan kekumuhan di kawasan padat penduduk. “Kekumuhan di satu lokasi tentunya membawa dampak yang banyak bagi lingkungan sekitar,” ujarnya. Rusdi, warga Tegal Parang, menilai penataan lingkungan kumuh tak berhasil. Buktinya, di wilayahnya masih ada tiga RW yang masuk kategori RW kumuh. Bapak dua anak ini, menilai kinerja serta program Walikota Jaksel menuntaskan kemiskinan serta kekumuhan selama lima tahun belakangan tak berhasil. “Terkesan pejabat di Pemkot Jaksel tak banyak turun ke lapangan untuk meninjau lokasi yang kumuh dan padat penduduk,” imbuhnya.[3]
Perubahan kebijakan: Dari perbaikan kampung ke pembangunan rumah susun
Pada tahun 1985, peremajaan perkotaan dilaksanakan di Kecamatan Tambora dan kemudian di Karang Anyar, setelah yang terakhir ini tertimpa musibah kebakaran. Tujuan pembangunan rumah susun adalah pengentasan kemiskinan dan kekumuhan. Apa yang terjadi kemudian, dalam waktu singkat, adalah munculnya pergeseran kelompok sasaran. Lebih daripada 90% penghuni rumah susun ternyata adalah golongan menengah, dan ini berarti pemerintah memberikan subsidi terus-menerus terhadap kelompok yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas mendapatkannya. Rumah susun kemudian menjadi monumen kekumuhan bertingkat, yang berarti tidak berkelanjutan dan memerlukan subsidi terus-menerus.
Dalam pelatihan-pelatihan manajemen perkotaan internasional, di manapun, selalu disarankan untuk tidak mengambil Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Israel, sebagai acuan dalam kebijakan perumahan dan permukiman, karena negara-negara itu memiliki pendapatan domestik bruto yang tinggi, selain ada keterbatasan lahan. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka berbeda dengan Indonesia.
Sejak 2000, tidak ada proyek MHT. Sebaliknya, pembangunan rumah susun terus digalakkan. Pada sektor swasta, pembangunan perumahan mewah bermunculan di segenap penjuru kota, menawarkan permukiman bernuansa modern, seakan-akan di dalam kota Jakarta tidak terdapat masalah permukiman. Terjadi kesenjangan yang mencolok, di mana di satu pihak permukiman formal dimanjakan, sedang permukiman informal diterlantarkan. “Sementara karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri”

MHT dan Harapannya di masa yang akan datang
Program yang digulirkan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penataan terhadap lingkungan kumuh memang telah mendapatkan berbagai macam pengakuan akan keberhasilannya dari dalam maupun luar negeri, namun begitu keberhasilan program MHT di masa yang lalu mendapat tantangan di masa kini dengan adanya perubahan zaman dan suasana kota Jakarta yang semakin berkembang. Jika pada awal program MHT digulirkan hingga hari ini, penekanan dari program ini lebih menitik beratkan pada pembangunan fisik dan infrastruktur, maka program-program MHT selanjutnya juga harus mulai merambah kepada pembangunan masyarakat (community Development) secara seimbang dan berkelanjutan.
Program MHT diharapkan tidak hanya mampu membangun sarana-sarana fisik dari sebuah lingkungan namun juga program ini diharapkan mampu membangun masyarakat, baik secara individual maupun komunal yang tinggal dalam lingkungan tersebut. Perlu disadari bahwa sebuah pemukiman walaupun secara empirik adalah lingkungan fisik namun sebenarnya pemukiman itu adalah sebuah lingkungan budaya yang penciptaan dan penataannya dilakukan dengan berpedoman kepada suatu kebudayaan, digunakan untuk tinggal dan hidup bersama bagi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melangsungkan kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan primer (yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organism tubuh manusia), sekunder (yang terwujud sebagai akibat dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer yang tidak dapat terpenuhi secara individual tetapi harus dalam kehidupan sosialnya), dan kebutuhan tersier (yang lahir dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder, yang menuntut terwujudnya keteraturan dan ketertiban moral dan sosial, keindahan, dan estetika pada umumnya, dan kebutuhan-kebutuhan tersier inilah yang mengintegrasikan tindakan-tindakan manusia dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya). Selain itu pemukiman juga harus disadari sebagai suatu lingkungan politik dan ekonomi. Oleh karenanya pembangunan pemukiman harus selalu dilihat dari sudut manusia, fisik, sosial, budaya, politik  dan ekonomi, diharapkan dengan cara pandang yang holistic seperti itu suatu pemukiman yang aman, nyaman dan tenteram dapat terwujud
Referensi
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pemgembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga FEUI
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty
Ife, Jim. 1995. Rethinking Sosial Work: Towards Critical Practise. South Melbourne: Longman
Ife, Jim. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ramadhan. 1992. Bang Ali Demi Jakarta (1966-1977). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

[1] Laporan  Musrembang Kanpekko DKI Jakarta, 2009
[2] RPJMD Provinsi DKI Jakarta, 2007
[3] www.beritabatavia.com. Di akses 15 Juli 2010





                      


WAJAH IBUKOTA JAKARTA
“Pemukiman Kumuh di Kota Jakarta”
Latar Belakang Munculnya Pemukiman Kumuh di Kota Jakarta
Permasalahan yang ada di kota Jakarta cukup beragam, mulai dari pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, samapi ke perumahan kumuh di daerah kota. permasalahan ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Perumahan kumuh di daerah DKI Jakarta juga diakibatkan oleh kemiskinan yang terjadi di wilayah DKI  Jakarta. Kemiskinan ini juga diakibatkan arus urbanisasi yang cukup pesat ke daerah ibukota Jakarta.
Adanya arus urbanisasi yang terjadi secara besar-besaran dari suatu wilayah ke wilayah lainnya yang pada umumnya dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab dari keberadaan pemukiman kumuh. Alasan perpindahan penduduk ini adalah ingin mengais rejeki dan mencari peruntungan di kota. mungkin saja melihat tetangga mereka yang tinggal di kota menjadi maju, sehingga mereka pun tertarik untuk ke kota.
Pada kenyataannya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kehidupan di perkotaan memiliki persaingan yang cukup ketat. Tanpa memiliki keahlian khusus bagi mereka yang datang ke kota, maka akan sulit untuk dapat bersaing dengan lainnya kebanyakan mereka yang datang ke ibu kota tidak memiliki keahlian yang cukup memadai. Hal demikian mengakibatkan mereka yang beruntung memiliki modal sendiri (walaupun pas-pasan) atau memiliki koneksi terpaksa beralih pada pekerjaan di sektor-sektor informal lainnya seperti dengan menjual bakso, tukang becak, penjual kaki lima, dll. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki modal atau tidak memiliki keahlian sama sekali, akhirnya terpaksa menjadi pengangguran atau bila sudah ‘kepepet’ terpaksa melakukan kejahatan.
Sementara itu, sedemikian pesatnya pertumbuhan daerah perkotaan juga telah menyebabkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini menimbulkan penyalahgunaan lahan, misalnya antara penggunaan lahan untuk perumahan dengan penggunaan lahan untuk industri, atau penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau, pemukiman atau perkantoran. Disamping itu, secara bersamaan terjadi penciutan luas lahan pertanian, akibat dari perluasan lahan untuk perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan dan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta menunjukan adanya perubahan lahan yang cukup besar dari penggunaan untuk pertanian menjadi untuk bangunan dan jenis-jenis penggunaan lainnya.
Namun, selain untuk kegiatan perekonomian, ada sebagain besar luas dari wilayah DKI Jakarta masih dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Akan tetapi luas tanah yang ada tidak mencukupi untuk seluruh penduduk di kota Jakarta. Hal ini menimbul masalah lagi di Jakarta, pemukiman kumuh pun menjadi hiasan dari Ibukota Negara ini. Adapun wilayah-wilayah yang terdapat lingkungan pemukiman kumuh, diantaranya berkategori kumuh berat yang lokasinya tersebar hampir diseluruh wilayah. Di Jakarta Pusat pemukiman kumuh terdapat di kecamatan Senen, Kemayoran dan Johar Baru atau tepatnya di kelurahan Petojo Selatan, Karang Anyar, dan Galur, di Jakarta Timur di kelurahan Cipinang Melayu, Cipinang, Cempedak, Pisangan Baru, Kayu Manis dan Pisangan Timur, di Jakarta Selatan di kecamatan Kebayoran Lama, Mampang Prapatan dan Pancoran, dan di Jakarta Barat di kecamatan Angke, Duri Utara, Tambora, Kapuk dan Rawa Buaya. Nampak bahwa pemukiman kumuh yang terluas (terbanyak) terdapat di wilayah Jakarta Utara. Pada umumnya kawasan kumuh serta gubuk liar berada disekitar perumahan penduduk golongan menengah ke atas dan juga sekitar gedung-gedung perkantoran maupun lokasi perdagangan, sehingga semakin memperlihatkan adanya perbedaan sosial-ekonomi dan turut pula memperburuk kualitas lingkungan visual kota.
Kondisi Pemukiman Kumuh di Kota Jakarta
Pemukiman kumuh di daerah DKI Jakarta dapat ditemukan di daerah-daerah pinggiran kali, selain itu ada juga di derah-daerah kolong Jembatan Layang dan daerah pinggiran rel kereta api. Rumah-rumah kumuh ini biasanya berbentuk gubuk-gubuk yang terbuat dari triplek kayu pada dinding-dindidingnya. Adapun ciri-ciri dari pemukinman kumuh tersebut diantaranya, pertama sanitasi atau masalah Kebersihan di wilayah perumahan Kumuh tidak memadai. Masalah sanitasi atau masalah kebersihan ini cukup penting untuk diperhatikan. Sanitasi yang buruk akan menimbulkan dampak yang memprihatinkan bagi kesehatan. Selain itu Air bersih sulit untuk ditemukan. Masalah sampah juga tidak diperhatikan, banyak sampah-sampah yang yang tidak terurus dan tak ada tempat Pembuangan sampah disana. Kedua, Ventilasi udara atau pertukaran udara yang sedikit sehingga pertukaran udara yang sehat sangat kurang. Kondisi ini mungkin dikarenakan sudah terlalu padatnya pemukiman di kota Jakarta. Bisa dikatakan, perumahan-perumahan dikota Jakarta bila kesamping kanan kiri, kebelakang, dan kedepan bertemu dengan tembok karena terlalu padatnya pemukiman yang ada di kota Jakarta, sehingga hanya sedikit space atau jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Dari padatnya rumah-rumah di kota Jakarta ini juga menimbulkan pencahyaan yang masuk ke rumah-rumah di kota Jakarta kurang, ini juga termasuk salah satu ciri dari pemukiman yang kurang sehat. Selain itu efek dari kepadatan penduduk ini juga mengakibatkan tata bangunan yang tidak teratur. Ciri lain dari pemukiman kumuh lainnya adalah fungsi bangunan tersebut bukan hanya untuk hunia saja, sekaligus sebagai tempat usaha. Hal ini dikarenakan untuk membeli atau meyewa tempat untuk berusaha di Jakarta sangatlah sulit. Kalau adapun harganya cukup tinggi, jadi mereka mengambil alternative lainya, yaitu menjadikan rumah mereka sebagai tempat untuk usaha. Ciri terakhir dari pemukiman kumuh adalah  tidak adanya lahan untuk penghijauan. Hal ini lagi-lagi dikarenakan kepadatan penduduk di kota Jakarta.
Kebalikan dari pemukiman kumuh adalah pemukiman yang sehat. adapun  ciri-ciri hunian atau perumahan yang sehat di antaranya, pertama, sarana dan prasarana sanitasi ada dan terawat. Kedua adanya ventilasi udara yang cukup untuk pertukaran udara sehat. Ketiga, bangunan yang teratur. Kemudian ciri-ciri lainya, fungsi bangunan sebagai hunian bukan berfungsi yang lain. Ciri-ciri pemukiman sehat yang terkahir adalah ada penghijauan.
Solusi Mengatasi Pemukiman Kumuh di Kota Jakarta
Setiap suatu masalah pasti ada pemecahannya, begitu juga masalah pemukiman Kumuh di wilayah DKI Jakarta. Pemukiman kumuh yang membuat wajah DKI Jakarta tidak indah dipandang mata ini dapat diatasi dengan cara kerjasama antara pemerintah dan masyarakat DKI Jakarta itu sendiri.
Relokasi daerah pemukiman Kumuh itu sendiri sudah sering kali dibahas oleh Pemerintah DKI Jakarta. Relokasi pemukiman kumuh atau yang biasa disebut orang awam penggusuran, tidaklah efektif apabila tidak ada pengganti rumah yang layak huni bagi mereka. Perumahan susun yang bisa dibilang sebagai pengganti dari rumah-rumah mereka, belum bisa memadai. Hal ini dikarenakan harga sewa dari rumah susun tersebut mahal, sehingga tidak terjangkau oleh mereka. Selain itu, kebanyakan rumah-rumah susun yang ada sudah dibeli oleh orang-orang yang mampu, lalu disewakan kembali. Jadi perlu adanya campur tangan dari pemerintah untuk memberikan hunian yang layak untuk mereka dengan catatan mendata mereka yang kurang mampu, dan pelarangan  pembelian rusun kepada orang-orang yang bisa dikatakan mampu.
Ibukota Jakarta Cerminan Negara Indonesia
Sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi daya terik tersendiri bagi rakayat Indonesia. Jakarta sebagai pusat segalanya, mulai dari pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan bisnis, pusat pendididkan yang bagus, dan lain sebagainya menjadikan kota dengan mascot elang bondol ini menjadi kota tujuan untuk meraup rejeki. Namun pada keenyataannya, kota Jakarta bukanlah suatu tempat yang menjadi ladang uang bagi mereka-mereka yang tak punya skill yang cukup. Bagi mereka inilah yang sulit survive di Jakarta. Mereka yang sulit untuk bertahan di kota megapolitan ini akan menimbulkan permasalahan bagi Jakarta, salah satunya adalah pembangunan pemukiman-pemukiman kumuh di wilayah Jakarta.
Perumahan-perumahan kumuh yang ada di wilayah kota Jakarta merupakan masalah yang cukup serius dan perlu penanganan yang cukup dari pemerintah DKI Jakarta. Dengan adanya pemukiman kumuh di wilayah DKI Jakarta membuat wajah Ibukota menjadi tidak cantik. Sebagai ibukota Negara, hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena ibukota merupakan cerminan dari Negara Indonesia. Apabila wajah Jakarta dihiasi oleh pemukiman yang teratur dan rapi, pandangan Negara lain pun akan positif ke Indonesia. Oleh karena itu Jakarta sebagai wajah dari Negara Indonesia harus dipercantik dengan tata kota yang teratur dan rapi, terutama dari pemukiman-pemukiman penduduknya.










Jadilah Ibukota negara yang membanggakan (masalah kependudukan)

Posted by Karina oktaviani on November 28, 2011

Jakarta sudah benar-benar overload karena daya tampung penduduk Ibu Kota yang sudah melebihi kapasitas. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menganggap masalah terbesar yang saat ini terjadi di Jakarta adalah membludaknya jumlah penduduk di Jakarta.
Selain macet dan banjir, peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan sebagain besar lahan di Jakarta dipadati pemukiman, sentra bisnis dan perkantoran yang lebih mengerikan dari pada itu adalah ada wacana yang disebutkan para ahli bahwa 2080 ada kemungkinan Jakarta akan tenggelam.
Jakarta sebagai pusat ekonomi, social, budaya, hukum pemerintahan dan juga politik. Jakarta menjadi pusat segala peradaban yang terjadi di Indonesia. Semuanya ada di Jakarta. Masyarakat Indonesia memandang Jakarta sebagai tambang emas, karena semuanya ada di Jakarta. Oleh karena itu banyak para urban berbondong-bondong ke kota ini dengan tujuan dapat merubah kondisi perekonomian di desa.
Jakarta dalam Surat kabar The Jakarta Post (edisi Jumat, 21 Agustus 2010) menyebutkan bahwa penduduk Jakarta berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut hasil sensus nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh hampir 9,6 juta orang melebihi proyeksi penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun 2025. Populasi kota ini adalah 4 persen dari total penduduk negara, 237.600.000 orang.
Dengan angka-angka ini, kita dapat melihat bahwa populasi kota telah tumbuh 4,4 persen selama 10 tahun terakhir, naik dari 8,3 juta pada tahun 2000. Apa yang dikatakan angka-angka ini? “Ibukota telah kelebihan penduduk.” Pada tingkat ini, Jakarta memiliki kepadatan penduduk 14.476 orang per kilometer persegi. Sebagai akibatnya, para pembuat kebijakan kota perlu merevisi banyak target pembangunan kota ini, termasuk penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, perumahan, kesehatan dan infrastruktur, sebagai peredam masalah pada saat kota sudah mengalami kepadatan penduduk yang sangat menghawatirkan.
PENYEBAB
Jumlah penduduk ditentukan oleh : 1. Angka kelahiran 2. Angka kematian 3. Perpindahan penduduk, yang meliputi :a. Urbanisasi, b. Reurbanisasi, c. Emigrasi, d. Imigrasi, yaitu e. Remigrasi, f. Transmigrasi. Yang menjadi focus penyebab kepadatan penduduk Jakarta saat ini adalah adalah Urbanisasi. Dimana, fakta berbicara bahwa penduduk kota Jakarta mayoritas adalah para urban. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta 2010 mengatakan bahwa jumlah penduduk Jakarta bertambah sebanyak 134.234 jiwa per tahun. Jika tidak ada program dari pemerintah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, maka pada 2020 Jakarta akan menjadi lautan manusia. Kenapa mereka berurbanisasi ke Jakarta?
Ada banyak faktor yang memicu urbanisasi misalnya; modernisasi teknologi, rakyat pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya. Pendidikan. Faktor pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap melunjaknya jumlah penduduk. Universitas terbaik di Indonesia baik negeri maupun swasta ada perkotaan termasuk di Jakarta. Lapangan Kerja. Jakarta sebagai kota besar dan berpenduduk banyak tentunya sangat menjanjikan untuk orang-orang kecil yang berniat untuk mencari sesuap nasi dikota ini mulai dari pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, tukang ojek, tukang sngat menjanjikan untuk hidup.emir sepatu, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, office boy, satpam, sopir, kondektur dll yang penting bisa bekerja tanpa nmempunyai keahlian khusus. Jika ditambah dengan orang-arang yang berkeahlian khusus yang didatangkan dari luar kota maupunh luar negeri untuk bekerja di Jakarta. Pusat Hiburan. Jakarta merupakan magnet dan pintu gerbang Indonesia. Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri sebagai kota Jakarta dekat dengan tempat – tempat hiburan yang sperti mall, pantai indah kapuk, dufan, pantai Tidung, sea world dan banyak arena-arena yang lainnya yang tidak ada di kota-kota lain di Indonesia.
DAMPAK
Pasti ada dampak dari suatu hal yang berlebihan begitu pula overloadnya Jakarta. Kesesakan yang diakibatkan oleh berlebihannya pendduduk Jakarta mengakibatkan; Sifat Konsumtif, Kekumuhan kota, Kemacetan lalu lintas, Kriminalitas yang tinggi, Struktur kota yang berantakan, isu Jakarta tenggelam, Banjir, pelebaran kota dengan tata kota yang tidak baik, melonjaknya sector informal, terjadinya kemerosotan kota, dan pengembangan industry yang menghasilkan limbah.
Dalam hal perbaikan, pemerintah Jakarta memang mengambil langkah-langkah untuk membatasi urbanisasi. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi masuknya migran ke kota, dengan hanya mereka yang telah dijamin pekerjaannya diijinkan untuk tinggal di kota, sementara petugas dari lembaga ketertiban umum kota sering melakukan serangan terhadap warga ilegal.
Semua upaya untuk mengekang tingkat kelahiran di kota itu akan menjadi tidak berarti jika kita tidak dapat membatasi urbanisasi. Untuk mengatasi masalah ini, Jakarta tidak bisa bekerja sendiri karena masih ada faktor yang mendorong urbanisasi dari berbagai daerah. Namun Semua masalah ini hanya bisa dipecahkan jika ada kemauan politik dari pemerintah pusat untuk menangani masalah mengurangi kesenjangan antara Jakarta dan provinsi-provinsi lainnya.






Jakarta Krisis Lahan Tinggal

JAKARTA-Tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan lahan tinggal memunculkan masalah permukiman di Jakarta. Jumlah penduduk yang mencapai 9,5 juta jiwa membuat kepadatan mencapai 146 jiwa per hektare.

Pertumbuhan penduduk masih terus terjadi, tetapi lahan permukiman sangat terbatas. Ahli planologi dari Universitas Trisakti Endrawati Fatimah melihat Jakarta sedang menghadapi krisis permukiman. "DKI Jakarta sebagai ibu kota negara memiliki tantangan terbesar dalam masalah perumahan dan permukiman," kata Endrawati kemarin.

Belum tercapainya 1 tempat tinggal bagi 1 kepala keluarga (KK) membuat tumbuhnya kawasan kumuh baru di Jakarta. Endrawati melihat kepadatan penduduk di Jakarta sudah mencapai titik jenuh atau sulit membangun secara horizontal (landed house). "Saat ini yang memungkinkan dibangun landed house hanya di Jakarta Barat dan Jakarta Timur, selebihnya permukiman harus dibangun vertikal," ungkapnya.

Namun pertumbuhan penduduk yang mencapai 3 juta di masa mendatang membuat pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal itu semakin sulit,termasuk rumah susun (rusun). Sebab bila satu menara rusun berkapasitas 100 KK, tetap diperlukan sangat banyak menara rusun di Jakarta. "Bila kebutuhan 750.000 unit dan satu menara 100 unit, sedikitnya Jakarta memerlukan 7.500 menara.Lahannya di mana?" ungkapnya.

Belum lagi masalah estetika arsitektur kota akan terganggu dengan pertumbuhan ribuan gedung permukiman ini. Akibat dari keterbatasan kemampuan menyediakan lahan permukiman,menurut Endrawati, ada risiko munculnya kawasan kumuh baru di masa mendatang. "Karena penduduk semakin padat dan ketersediaan lahan permukiman terbatas," terangnya.

Saat ini, terdapat sekitar 416 RW kumuh atau sekitar 16% dari luas Jakarta. Kawasan kumuh itu dikategorikan berat,sedang,dan ringan.Khusus untuk kawasan kumuh berat, Endrawati mencatat ada sekitar 22 kawasan, yakni 10 RW di Jakarta Barat,6 RW di Jakarta Utara, 4 RW di Jakarta Pusat, dan 2 RW di Jakarta Timur. Persebaran penduduk di Jakarta Selatan mengharuskan permukiman ke depan dibangun secara vertikal.

"Kenapa Jakarta Selatan 100% harus membangun permukiman secara vertikal? Karena keterbatasan ruang yang ada," ungkap pengamat tata kota dari Universitas Indonesia Rudy Tambunan. Jakarta Pusat saat ini bahkan sudah tidak lagi memungkinkan pembangunan permukiman penduduk secara horizontal. Kondisi ini menurutya harus disesuaikan lagi dengan lembar rencana kota. "Saya masih yakin pemenuhan kebutuhan masyarakat masih bisa dengan catatan pembangunan landed house harus dibatasi," terangnya.

Pemprov DKI Jakarta, menurutnya, juga harus menata kawasan padat yang ada untuk dikaji ulang. Pasalnya masyarakat harus memiliki lingkungan yang nyaman berkelanjutan serta dilengkapi sarana dan prasarana. "Seperti masalah kebakaran yang sering terjadi di kawasan padat penduduk, jangan sampai pendapatan masyarakat setahun hilang dalam dua jam akibat kebakaran," ujarnya.

Belum lagi masalah sanitasi dan keperluan air bersih yang kerap menjadi masalah di kawasan padat penduduk. Termasuk masalah pengelolaan sampah, sumber air, menciptakan lingkungan sehat yang tentu akan semakin sulit, serta kebutuhan sarana transportasi. Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Daerah DKI Jakarta Agus Subardono menjelaskan, pihaknya sedang melakukan perencanaan yang lebih baik dengan melibatkan berbagai sektor.

Agus menjelaskan pihaknya memang membatasi pembangunan permukiman baru yang horizontal, khususnya di wilayah selatan. "Prioritas pengembangan kota ke arah timur, barat, dan utara," ungkapnya. Termasuk melaksanakan reklamasi dan revitalisasi kawasan Pantai Utara. Pengembangan permukiman vertikal, menurutnya, harus dilengkapi fasilitas serta prasarana dan sarana yang memadai.

Pihaknya saat ini sedang menyusun Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) untuk seluruh wilayah DKI Jakarta. "RP4D ini untuk mengantisipasi banyak warga Jakarta yang tidak akan mendapatkan rumah atau tidak dapat memiliki tempat tinggal yang layak huni," ungkapnya. Langkah itu sebagai antisipasi pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta yang telah mencapai lebih dari 9,5 juta jiwa dengan kepadatan rata-rata 146 jiwa per hektare.

Bahkan pada 2030 diperkirakan akan mencapai 12,5 juta jiwa. Ini tidak sebanding dengan lahan yang tersedia untuk pengembangan perumahan dan permukiman, yaitu berkisar 2.863 hektare saja. isfari hikmat

Seputar Indonesia | Senin, 5 Desember 2011

 

 

 

 

 

PERMUKIMAN KUMUH DI JAKARTA

MASALAH KLASIK YANG MASIH UP TO DATE

 

Hampir disetiap daerah di ibukota, dapat kita jumpai permukiman kumuh yang menyempil diantara bangunan-bangunan megah. Permukiman itu biasanya mengisi ruang-ruang kosong yang memang disediakan untuk Ruang Terbuka Hijau atau lahan serapan air. Contohnya bantaran kali yang kini sudah penuh dengan permukiman-permukiman sehingga menyebabkan berkurangnya Daerah Aliran Sungai (DAS). Perkembangan permukiman kumuh sudah sangat mengkhawatirkan, saat ini permukiman kumuh di Indonesia luasnya sudah mencapai 57,8 juta hektar. Melihat kondisi seperti ini perlu adanya gerakan dari pemerintah pusat untuk merelokasi permukiman kumuh khususnya di daerah Jakarta.

 

 

 

MENGAPA BANYAKNYA PERMUKIMAN KUMUH DI JAKARTA ???

Pesatnya perkembangan kota-kota besar diindonesia mendorong adanya arus migrasi penduduk besar-besaran. Hal inilah kemudian yang menjadi masalah yang tak kunjung selesai, mulai dari banyaknya pengagguran hingga kebutuhan tempat tinggal yang layak. Dijakarta pembangunan permukiman jelas kalah cepat dibanding pertumbuhan penduduk yang semakin padat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Permasalahan ledakan penduduk ini sudah menjadi masalah klasik yang belum juga diatasi secara menyeluruh. Sementara angka pengangguran di Jakarta terus merangkak naik dari tahun ketahun, hal ini jelas semakin mempengaruhi mempengaruhi kebutuhan permukiman. Akibatnya terjadi penurunan kualitas permukiman di Jakarta yang menyebabkan banyaknya permukiman kumuh.

 

Untuk itu diharapkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan penataan kembali kawasan perkotaan dengan mencoba mengurangi permukiman kumuh ini dengan membangun rumah susun. Selain itu menurut Irhash Ahmady, aktivis lingkungan hidup yang bernaung dibawah bendera Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Ia menjelaskan bahwa ada dua macam cara untuk menangani permukiman kumuh seperti yang pertama adalah program jangka panjang, yaitu melakukan redistribusi kawasan, hal ini dimaksudkan agar semua kegiatan industry tidak fokus ke Jakarta saja, kota-kota satelit seperti Tangerang, Bekasi , Depok serta Bogor pun harus dimanfaatkan supaya Jakarta tidak kelebihan beban. Yang kedua adalah program jangka pendek, yaitu memangun kesadaran masyarakat untuk melakukan pengurangan resiko terhadap bencana yang biasanya ditimbulkan didaerah permukiman kumuh seperti banjir dan kebakaran.

 

 

 


 

 

 

Pengertian Wilayah, Daerah, Kota, Perkotaan, Perencanaan

Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan perlu terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian dasar, konsep atau terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya. Pengertian-pengertian dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan, serta perencanaan. Selain itu, perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan seperti daerah dan kawasan. Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar tersebut diperlukan sebagai pengantar kepada Perencanaan Wilayah dan Kota, baik sebagai disiplin ilmu maupun sebagai salah praktek dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.
Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi, dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum meskipun lebih umum (Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi, Wilayah Kabupaten/Kota, atau Wilayah Indonesia Timur, Wilayah Kalimantan, Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa). Daerah dipergunakan mengacu pada pengertian administrasi daerah otonom, yang di Indonesia adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Sementara itu kawasan dipergunakan dalam pengertian fungsional. Dalam hal ini. misalnya suatu wilayah provinsi, berdasarkan fungsinya dalam terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Contoh yang lain wilayah kabupaten (yang berdasarkan pengertian administrasi merupakan Daerah Otonom) mencakup baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dalam skala wilayah yang lebih kecil lagi, wilayah Kota berdasarkan fungsinya terdiri dari kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, kawasan industri, dan sebagainya.
Perencanaan kota (atau wilayah/kawasan perkotaan) mengacu pada pengertian perencanaan secara umum sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini yang menjadi domainnya adalah sektor publik, yang dalam skala spasial objeknya adalah kota atau kawasan perkotaan.


 Adi Jaya Putra  08:43 

 

 

 

 

 

 

 

KONFLIK MASYARAKAT KOTA DENGAN DESA

 

 

 

         Konflik yang terjadi antar warga desa akhir-akhir  ini semakin sering menjadi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik. Beragamnya masalah konflik yang timbul mulai dari masalah yang sepele, saling mengejek antar pemuda, sampai persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar warga desa akhir ini patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.

Salah satu potensi konflik yang terjadi pada masyarakat desa secara langsung dan terbuka adalah antara warga dusun (masyarakat kampung) dengan warga perumahan (masyarakat pendatang) sebagai masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman baru di daerah pinggiran kota atau pinggiran pedesaan yang terjadi interaksi sosial sehingga terjadi tumpang tindih nilai-nilai tradisional peralihan menuju nilai-nilai modern.

Pada masyarakat desa transisi, peluang konflik  antara warga perumahan dengan warga dusun tersebut bisa terjadi akibat dari adanya pihak ketiga, yakni pihak developer perumahan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang selalu mengabaikan pembangunan di dusun, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial warga dusun,  kurang memberikan peluang integrasi sosial antara warga perumahan dengan warga dusun, serta kesempatan peluang kerja bagi warga dusun sebagai masyarakat asli yang sudah lama bertempat tinggal di desa tersebut.

Pada masa lalu masyarakat desa dikenal dengan sifat gotong royong. Gotong royong merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia. Berdasarkan sifatnya gotong royong terdiri atas gotong royong bersifat tolong menolong dan bersifat kerja bakti. Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong  semacam ini merupakan  salah satu bentuk solidaritas sosial.

Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong  semacam ini merupakan  salah satu bentuk solidaritas sosial. Dalam masyarakat primer (umumnya terjadi pedesaan) dicirikan masyarakat yang guyub, teposelero, dan jalinan kerjasamanya erat. Tetapi dalam masyarakat tipe sekunder justru terjadi sebaliknya.

Dahulu masyarakat desa dalam khasanah sosiologi dikenal dengan sebutan masyarakat primer. Namun kini proses solidaritas sosial dan tingkat partisipasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses memudarnya ikatan kerjasama itu disebabkan berbagai faktor, misalnya: masuknya nilai-nilai kapitalisme, perubahan sosial budaya, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain.

Selain itu pada era globalisasi dan informasi telah terjadi perubahan pada berbagai aspek yang mendorong keterbukaan pada hampir di semua aspek dan sistem kehidupan manusia, termasuk pada masyarakat desa. Pengaruh globalisasi ini antara lain menyebabkan terbentuknya masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang di dalamnya terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun temurun tinggal di desa tersebut dan masyarakat pendatang yang baru bertempat tinggal di desa tersebut.

Karakteristik masyarakat desa transisi ini meliputi: (a) terjadinya tumpang tindih antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Hal ini dipertegas  Riggs (1998) yang menyebutkan terjadi pola campuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Disatu sisi nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat desa untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi lain nilai-nilai tradisional yang positif harus bisa dipertahankan dan tidak harus dihilangkan, akan tetapi dikelola  secara proporsional dan fungsional, seperti nilai-nilai solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa, tradisi soyo (membantu membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah), tradisi ngelayat (mendatangi keluarga tetangga yang ditimpa musibah meninggal), tradisi rewang (membantu tenaga tetangga yang punya hajatan), tradisi klontang (memberi sumbangan uang kepada tetangga yang ditimpa musibah kematian dimasukkan ke dalam kardus aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan uang pada tetangga/warga yang menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya; (b) masyarakat  menjadi heterogen, seperti: tingkat pendidikan, perkerjaan, dan kepercayaannya; (c) terjadinya pembangunan perumahan baru di desa pinggiran yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan bisa terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun masyarakarat pendatang dengan masyarakat asli, dan kecemburuan sosial; (d)  kawasan desa pinggiran kota, kawasan di mana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan peru-mahan yang membawa dampak positif, yakni memberikan kesempatan kerja non pertanian bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya terjadi konflik antara masyarakat asli dan pendatang; (e) masyarakat desa yang mengalami peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian)  menuju mata pencaharian non pertanian.

Kondisi tersebut terutama terjadi  pedesaan, khususnya masyarakat desa yang letaknya di pinggiran kota karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis. Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi tersebut dalam pergeseran solidaritas.

Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga munculnya kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menum-buhkan kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan  suatu keadaan hubungan antara individu  atau kelom-pok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman emosional bersama.

Solidaritas sosial adalah perasaan yang secara kelompok memiliki nilai-nilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran (role expectation). Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat meliputi: saling membantu, saling  peduli, bisa bekerjasama, saling membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.

Tradisi solidaritas sosial yang telah ada pada masyarakat kita secara terus menerus harus tetap dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya akan tetapi karena dinamika budaya tidak ada yang statis, terjadilah beberapa perubahan secara eksternal dan internal. Unsur kekuatan yang merubah adalah modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi solidarits sosial. Selain itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) meningkatnya tingkat pendidikan anggota keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan lebih memahami arti dan kewajiban mereka sebagai manusia, (b) perubahan tingkat sosial dan corak gaya hidup  kadang-kadang menciptakan kerenggangan di antara sesama anggota keluarga, (c) Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.

 

            Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam masyarakat desa antara lain: (a) Adanya kecenderungan pada  masyarakat kita, khususnya masyarakat desa transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa mengakibatkan terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut. (b) Semakin menipisnya tingkat saling percaya  dan tolong menolong dalam kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial dalam proses kehidupan.

Upaya memelihara solidaritas sosial  dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan  tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat desa, khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang modern yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai kearifan lokal? sementara nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai kearifan dan sejalan dengan nilai budaya yang ada.

Nilai-nilai  solidaritas  sosial   pada  masyarakat desa transisi: (1) tumbuh dari pertautan (integrasi) antara  nilai   tradisi  lokal  dengan  nilai  modern,  akibat terjadinya  interaksi antar kedua warga tersebut, (2) Nilai-nilai solidaritas yang memiliki kearifan lokal pada masyarakat dusun dan masyarakat perumahan yang positif harus dipelihara seiring dengan  banyaknya pembangunan perumahan baru di wilayah  pedesaan,  karena  nilai-nilai   tersebut  cenderung meningkatkan  partisipasi  dalam pembangunan. Pihak  pengembang perumahan berkewajib-an mengontrol dan melakukan kerjasama   dengan  aparat  desa  dan  tokoh  masyarakat  di lingkungan masing-masing   terhadap   proses  sosial  yang berkembang dipemukiman baru,  agar segala gejala negatif yang muncul dapat segera  diantisipasi,  misalnya  gejala  segregasi   sosial   (mengabaikan  kelangsungan   sosial  dan  budaya  karena  menurut   perhitungan   ekonomi  dianggap  tidak  menguntungkan developer), konflik  sosial,  dan  dislokasi  sosial  (perubahan pemukiman penduduk dalam jumlah besar dan waktu relatif cepat) sehingga menimbulkan masalah sosial.

 

sumber

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSpbhs3xhIDcZ5OlLMZE6mfiNCvjOxo_BxRErSrg1rheuGK30sMWHv7uknnNKfwDnMKxtRkQjbcxUBJ89U8jlesPVK1KIt-cQ3wKlBQP2Er3gDyQ_fH4gVQlo2LdpfHBh4imZlrnpCkxw/s1600/Kota-Jakarta.jpg
http://y4ser4rafat.files.wordpress.com/2011/01/gt-masyarakat.jpg

Diposkan oleh wahid di 01:14

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jepang Bangun Flyover dalam Gedung

Foto: Gedung "Beehives"/ Daily Mail

seperti kurangnya ruang untuk membangun jalan raya menghalau pembangunan infrastruktur. 

Ketika masalah ruang menghadang, mereka berhasil membuat alternatifnya, yakni membangun flyover
JAKARTA - Para insinyur di Jepang seakan tidak akan membiarakan masalah kecil yang melewati blok gedung perkantoran, di Osaka, Jepang.

Ada pun gedung yang dilewati flyover yakni perkantoran setinggi 16 lantai, yang bagian bawahnya dibuat lubang cukup besar sesuai dengan luasnya flyover. Demikian yang dikutip dari situs Daily Mail, Selasa (31/1/2012).

Karena dilalui flyover dan kesibukan pengguna gedung, maka masyarakat sekitar menyebut gedung tersebut dengan nama Beehives (sarang tawon). 

Sementara itu, untuk konstruksi, bangunan ini memiliki konstruksi ganda dengan penampang lingkaran baja. Sehingga jalur flyover bisa melalui lantai lima dan lantai tujuh gedung tersebut tanpa gangguan.

Untuk lift yang beroperasi, hanya sampai lantai empat, yang kemudian akan transit ke lift lainnya yang ada di lantai delapan.

Tidak hanya dari segi keselamatan saja yang dipikirkan para arsitek Negeri Sakura, kenyamanan pun turut dipertimbangkan dengan mendesain gedung sedemikian rupa agar tidak berguncang saat kendaraan berlalu lalang di bawahnya.



Sumber : 
www.property.okezone.com/jepang-bangun-flyover-dalam-gedung



Permasalahan Perkembangan Daerah Perdesaan Menjadi Perkotaan

 

 

 

 

Daerah perdesaan dapat didefinisikan sebagai daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah dengan kriteria ekonomi, sosial, dan geografis tertentu. Kriteria ekonomi pedesaan sangat tergantung atau mengandalkan dari pendapatan pertanian. Kriteria sosial, menunjukkan prilaku kehidupan masyarakat yang sangat terkait dengan pertanian dan kepadatan penduduk yang rendah. Kriteria geografis, daerah perdesaan lokasinya relatif jauh dari daerah perkotaan.

 

Jika suatu daerah perdesaan mengalami perkembangan maka akan terjadi aktifitas yang tinggi sehingga dapat memicu peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan meningkatnya pemanfaatan suatu sumberdaya alam tertentu maka akan dapat mengurangi atau mempengaruhi potensi sumberdaya yang lain. Perkembangan daerah perdesaan yang tidak terkendali berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti pembukaan lahan baru serta  urbanisasi. 

 

 

 

Perubahan daerah perdesaan menjadi perkotaan dapat dilihat berdasarkan perubahan karakteristik berikut ini. Segregasi: pemisahan daerah-daerah perdesaan ke dalam blok-blok dengan harga perumahan yang berbeda kelasnya. Imigarasi terpilih: adanya beberapa orang yang bekerja pada tempat dan kondisi sosial ekonomi yang terpisah. Adanya fenomena ulang-alik (comuniting) pekerja kelas menengah. Serta kondisi geografis yang sudah sulit dikenali perbedaan dengan hirarkis sosial yang terpisah.

 

 

Selain permasalahan perkembangan perdesaan menjadi perkotaan, daerah perkotaan itu sendiri memiliki banyak permasalahan akibat dari urbanisasi dan pembukaan lahan baru. Permasalahan yang sering timbul antara lain; (1) terjadinya kenaikan temperatur pada titik-titik tertentu yang disebut juga polusi temperatur (thermal pollution), (2) ketidaknyamanan (discomfort index), (3) tingkat pencemaran. Pada daerah perkotaan kenaikan temperatur biasanya terjadi pada titik-titik tertentu akibat dari aktifitas kendaraan bermotor dan industri. Kepadatan kendaraan bermotor merupakan pemicu utama terjadinya kenaikkan temperatur, selain itu dapat juga karena aktifitas industri serta kepadatan permukiman. Akibat dari peningkatan temperatur tersebut mengakibatkan meningkatnya indeks ketidaknyamanan. Meningkatnya indeks ketidaknyamanan juga dapat diakibatkan karena faktor pencemaran, baik pencemaran udara, tanah, maupun air. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa sumber dari permasalahan perkotaan adalah penduduk itu sendiri. Hal tersebut juga dipicu dengan prilaku masyarakat yang kurang memikirkan lingkungannya sebagai akibat dari cara pandang yang memandang lingkungan itu adalah milik publik dimana tidak ada batasan dalam pemanfaatannya. 

Diposkan oleh erfan taufik ardianto di 23:45 



»»  READMORE...