Minggu, 18 Maret 2012
Sabtu, 17 Maret 2012
Teori Kevin Lynch
Teori Kevin Lynch
Kevin Lynch menyebutkan bahwa image suatu kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu:
Jalur merupakan penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke ruang lain di dalam kota. Secara fisil paths adalah merupakan salah satu unsur pembentuk kota. Path sangat beranaka ragam sesuai dengan tingkat perkembangan kota, lokasi geografisnya, aksesibilitasnya dengan wilayah lain dan sebagainya. Berdasarkan elemen pendukungnya , paths dikota meliputi jaringan jalan sebagai prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal/pelabuhan, sebagai sarana perangkutan. Jaringan perangkutan ini cukup penting khususnya sebagai alat peningkatan perkembangan daerah pedesaan dan jalur penghubung baik produksi maupun komunikasi lainnya.
Berdasarkan frekuensi, kecepatan dan kepentingannya jaringan penghubung di kota dikelompokan:
- Jalan Primer
- Jalan Sekunder
- Jalan Kolektor Primer
- Jalan Kolektor Sekunder
- Jalan Utama Lingkungan
- Jalan Lingkungan
Paths ini akan terdiri dari eksternal akses dan internal akses, yaitu jalan-jalan penghubung antar kota dengan wilayah lain yang lebih luas. Jaringan jalan adalah pengikat dalam suatu kota, yang merupakan suatu tindakan dimana kita menyatukan semua aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik suatu kota.
Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dan sebagainya. Path merupakan identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar, serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas. (Markus Zahnd, 1999, p.158)
Biasanya bangunan yang berada pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk memberikan citra tertentu atau identitas ruang. Node merupakan suatu pusat kegiatan fungsional dimana disini terjadi suatu pusat inti / core region dimana penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup semuanya bertumpu di node. Node ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya atau daerah hiterlandnya.
Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman,, square, dan sebagainya. Node adalah satu tempat di mana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya. (Markus Zahnd, 1999, p.158)
District merupakan kawaan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai refrensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogeny, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).
(Markus Zahnd, 1999, p.158)
Bangunan yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan dapat juga memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk bersirkulasi.
Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut oleh pengunjung. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut.
Landmark merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapiorang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing.
(Markus Zahnd, 1999, p.158)
Edge adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi seb agai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai refrensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi atau menyatukan
»» READMORE...
Kevin Lynch menyebutkan bahwa image suatu kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu:
- Paths (jalur)
Jalur merupakan penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke ruang lain di dalam kota. Secara fisil paths adalah merupakan salah satu unsur pembentuk kota. Path sangat beranaka ragam sesuai dengan tingkat perkembangan kota, lokasi geografisnya, aksesibilitasnya dengan wilayah lain dan sebagainya. Berdasarkan elemen pendukungnya , paths dikota meliputi jaringan jalan sebagai prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal/pelabuhan, sebagai sarana perangkutan. Jaringan perangkutan ini cukup penting khususnya sebagai alat peningkatan perkembangan daerah pedesaan dan jalur penghubung baik produksi maupun komunikasi lainnya.
Berdasarkan frekuensi, kecepatan dan kepentingannya jaringan penghubung di kota dikelompokan:
- Jalan Primer
- Jalan Sekunder
- Jalan Kolektor Primer
- Jalan Kolektor Sekunder
- Jalan Utama Lingkungan
- Jalan Lingkungan
Paths ini akan terdiri dari eksternal akses dan internal akses, yaitu jalan-jalan penghubung antar kota dengan wilayah lain yang lebih luas. Jaringan jalan adalah pengikat dalam suatu kota, yang merupakan suatu tindakan dimana kita menyatukan semua aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik suatu kota.
Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dan sebagainya. Path merupakan identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar, serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas. (Markus Zahnd, 1999, p.158)
- Node (simpul):
Biasanya bangunan yang berada pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk memberikan citra tertentu atau identitas ruang. Node merupakan suatu pusat kegiatan fungsional dimana disini terjadi suatu pusat inti / core region dimana penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup semuanya bertumpu di node. Node ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya atau daerah hiterlandnya.
Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman,, square, dan sebagainya. Node adalah satu tempat di mana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya. (Markus Zahnd, 1999, p.158)
- District (kawasan)
District merupakan kawaan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai refrensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogeny, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).
(Markus Zahnd, 1999, p.158)
- Landmark (tengaran)
Bangunan yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan dapat juga memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk bersirkulasi.
Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut oleh pengunjung. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut.
Landmark merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapiorang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing.
(Markus Zahnd, 1999, p.158)
- Edge (tepian)
Edge adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi seb agai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai refrensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi atau menyatukan
Green City sebagai Solusi Pengembangan Kota di Indonesia
Green
City sebagai Solusi
Pengembangan Kota di Indonesia
|
|||
|
Written by Green City
|
Tuesday, 17 January 2012 05:43
|
Pertumbuhan
kota yang terjadi di negara- negara
berkembang, salah satunya di Indonesia.
Kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Pekanbaru , Surabaya, Bandung,
Medan dan Makassar mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pula, dan
urbanisasi mejadi salah satu sebabnya. Peningkatan jumlah penduduk akan
mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat.
Pertumbuhan
kota yang
demikian tentu akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Persebaran lahan
terbangun yang sangat luas mengakibatkan inefisiensi jaringan transportasi
yang berdampak pada meningkatnya polusi udara perkotaan, selain itu juga
menimbulkan costly dan pemborosan. Lihat saja Jakarta
yang merupakan Ibukota Indonesia,
kota tersebut sudah mengalami perkembangan
yang terlalu besar sehingga mengalami “overload” menjadikan kota
Jakarta sebagai kota yang tidak layak untuk ditinggali.
Bahkan sempat muncul isu tentang pemindahan ibukota akibat ketidaklayakannya.
Belum lagi kota – kota
besar lainnya yang mulai berkembang seperti Surabaya,
Bandung, Kota Pekanbaru Riau dan lainnya.
Berdasarkan
keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota di butuhkan pendekatan konsep
perencanaan yang berkelanjutan. Ada beberapa
konsep pengembangan kota yang berkelanjutan,
salah satunya adalah konsep Green
City yang selaras dengan alam.
Green City dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan kota yang sehat.
Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian
lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota yang
aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan
mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum
masyarakat, difasilitasi oleh sekotor terkait dan sinkron dengan perencanaan
kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari setiap individu
anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders).
Konsep
Green City ini sesuai dengan pendekatan- pendekatan yang disampaikan Hill,
Ebenezer Howard, Pattrick Geddes, Alexander, Lewis Mumford dan Ian McHarg.
Implikasi dari pendekatan- pendekatan yang disampaikan diatas adalah
menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada
kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota
dan kota- kota
baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak
merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya
juga memastikan pengembangan kota
yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
Terdapat
8 kriteria konsep Green
City, antara lain :
Mengapa Konsep Green
City perlu dipertimbangkan di Indonesia?
Kota- kota
besar di Indonesia perlu
secara cermat mengatasi persoalan ledakan penduduk perkotaan akibat
urbanisasi yang brutal, tidak tertahankan, apabila kita berharap bahwa kota- kota
tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya adalah
dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta peningkatan
kualitas pelayanan publik
Dengan konsep
Green City krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di
kota- kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas perkotaan,
apabila kita mampu menangani perkembangan kota- kota kecil dan menengah
secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang terbuka hijau, pengembangan
jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota kompak, dan pengendalian
penjalaran kawasan pinggiran.
Terdapat beberapa pendekatan Green City yang dapat
diterapkan dalam manajemen pengembangan kota.
Pertama adalah Smart Green City Planning. Pendekatan ini terdiri atas 5
konsep utama yaitu :
A.
Pertama
konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya
penyeimbangan air, CO2 dan energi.
B.
Pendekatan
kedua adalah konsep desa ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan,
arsitektur dan transportasi dengan contoh penerapan antara lain : kesesuaian
dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro,
efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum.
C.
Ketiga,
konsep kawasan perumahan berkoridor angin ( wind corridor housing complex)
dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan pembangunan ruang terbuka hijau, pengontrolan
sirkulasi udara, serta menciptakan kota hijau.
D.
Keempat,
konsep kawasan pensirkulasian air ( water circulating complex ). Strategi
yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku.
E.
Kelima,
konsep taman tadah hujan ( rain garden )
Pendekatan kedua
adalah konsep CPULS ( Continious Productive Urban LandscapeS). Konsep
penghijauan kota
ini merupakan pengembangan landscape yang menerus dalam hubungan urban dan
rural serta merupakan landscape productive
Pendekatan
terakhir adalah Integrated
Tropical City.
Konsep ini cocok untuk kota yang memiliki
iklim tropis seperti Indonesia.
Konsep intinya adalah memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti
perlindungan terhadap cuaca, pengutanan kota
dengan memperbanyak vegetasi untuk mengurangi Urbat Heat Island. Bukan hal
yang tidak mungkin apabila Indonesia
menerapkan seperti kota- kota
berkonsep khusus lainnya ( Abu Dhabi dengan
Urban Utopia-nya atau Tianjin dengan Eco
City-nya), mengingat Indonesia
yang beriklim tropis.
Berikut topologi
terbentuknya Konsep
Integrated Tropical
City :
Kelebihan dari Konsep Green City adalah
dapat memenuhi kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu
kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan,
bencana alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan
permasalahan lingkungan lainnya.
Namun disamping kelebihannya, konsep ini
memiliki kelemahan juga. Penerapannya pada masing- masing kawasan tidak dapat
disama ratakan karena tiap- tiap daerah memerlukan kajian tersendiri.
Setidaknya harus diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan
sebagainya. Misalnya, daerah pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor
dan erosi, dipantai untuk menghindari gelombang pasang, tsunami, di kota besar untuk
menekan polusi udara, serta di perumahan, di fungsikan meredan kebisingan.
Jadi RTH di masing- masing kota
memiliki fungsi ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini
kebanyakan pelaksanaan penghijauannya tidak terkonseptual, sehingga
menimbulkan citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat
mengambil manfaat positif dari penghijauan.
Diperlukan kemauan dan itikad baik dari
pemerintah dan masyarakat untuk menghadirkan konsep Green City di Pekanbaru Riau dan terutama di indonesia
Sumber
: tasriqscout – kaskus[dot]us
|
Langganan:
Postingan (Atom)