Pembangunan
Kota Berkelanjutan
Definisi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Keberlanjutan (sustainability) secara umum
berarti kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan proses atau
kondisi suatu sistem, yang terkait dengan sistem hayati dan binaan. Dalam
konteks ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan ekosistem menjaga dan
mempertahankan proses, fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman ekologis pada
masa mendatang.
Dalam perkembangannya seiring dengan kebutuhan menjaga
keberlanjutan kehidupan manusia di bumi, masyarakat dunia diperkenalkan pada
pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Walaupun hingga kini secara ilmiah belum terbukti adanya kehidupan manusia yang
tidak berkelanjutan, namun pada prinsipnya pembangunan berkelanjutan memiliki
tujuan agar pemanfaatan sumberdaya alam dipertahankan pada laju dimana
kelangkaan dan kepunahan sumberdaya alam bersangkutan tidak dihadapi oleh
generasi mendatang. Dalam prinsip tersebut terkandung makna adanya batas atau
limitasi keberlanjutan.
Dalam berbagai konteks kepentingan, pengertian berkelanjutan
menjadi semakin kompleks terkait dengan beragamnya sistem kehidupan, baik yang
terkait dengan karakteristik lingkungan hayati, lingkungan fisik, dan
lingkungan binaan, termasuk diantaranya pengertian dan pemaknaan mengenai kota
berkelanjutan (sustainable cities) dan ecomunicapilities.
Sejak
tahun 1980an, berkembang gagasan mengenai format kehidupan berkelanjutan
sebagai perwujudan kesadaran kolektif akan keterbatasan sumberdaya alam dan
lingkungan menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pada tahun 1989,World Commission on Environment
dan Development (WCED) mempublikasikanBrundtland Report dalam dokumen Our Common Future mengenai pembangunan berkelanjutan yang selanjutnya dikenal
dan diterima secara luas sebagai basis mengatur tata kehidupan dunia yang lebih
berkelanjutan. Keberlanjutan (sustainability)didefinisikan sebagai “memenuhi kebutuhan pada masa kini tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi pada masa mendatang” (to meet the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their
own needs). Prinsip penting lainnya dari
definisi Brundtland Commission adalah kepentingan mengintegrasikan tiga pilar ekonomi, sosial,
dan lingkungan dalam mencapai tujuan keberlanjutan.
Walaupun demikian, definisi Brundtland Commission secara
universal masih diinterpretasikan secara beragam dengan berbagai makna. Yang
paling mendasar adalah kenyataan bahwa sebagian mengartikan definisi Brundtland
Commissionsebagai proses dan sebagian lainnya
sebagai tujuan dari suatu fakta atau nilai. Hal ini menjadi
penting dalam menerapkan dan mengaplikasikan prinsip berkelanjutan bagi suatu
kepentingan, dimana dibutuhkan suatu konteks dan tujuan yang jelas dan nyata.
Beberapa
premis lain menyatakan bahwa walaupun keberlanjutan merupakan konsep yang
penting, namun relatif tidak fokus, cenderung bias, dan memiliki substansi yang
sangat terbatas. Bahkan jika dikaitkan dengan kegiatan pembangunan (development)yang secara harfiah dapat diartikan sebagai aktifitas penggunaan
atau bahkan menghabiskan sumberdaya alam serta berpotensi merusak lingkungan,
maka pembangunan berkelanjutan sebagai suatu konsep dianggap menjadi kurang
tepat. Pandangan tersebut pada dasarnya bermaksud memposisikan lingkungan
sebagai ekstrim yang berbeda dari kegiatan pembangunan, sehingga konsep
keberlanjutan lingkungan (ecological sustainability) dianggap lebih tepat.
Berbagai pandangan di atas mengisyaratkan pentingnya dialektika
yang perlu dipertimbangkan dalam memaknai keberlanjutan, yakni memposisikan
dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai tiga pilar utama dalam sistem
kehidupan sebagaimana dinyatakan oleh Brundtland Commission. Jika dimensi ekonomi dan
sosial dianggap dapat mewakili dan merepresentasikan tujuan dan kegiatan
pembangunan (development), maka keduanya perlu memiliki keterkaitan dengan dimensi
lingkungan, termasuk sumberdaya alam. Pada hakekatnya keterkaitan(overlapping) ketiga pilar tidak sepenuhnya
bersifat mutually exclusive, namun mampu menciptakan perkuatan satu
dengan lainnya (mutually reinforcing)sebagaimana ditunjukkan gambar berikut.
Gambar 1 : Skema Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Jonathon
Porritt, ekolog Inggris tidak sependapat dengan pola ketekaitan ketiga pilar di
atas, oleh karena menganggap ”ekonomi adalah subsistem kehidupan sosial, dan
kehidupan sosial merupakan subsistem biosfer atau sistem total kehidupan di
bumi. Tidak satu subsistempun mampu melampaui kapasitas sistem biosfer”. Pola
overlapping ketiga pilar tersebut di atas diragukan, oleh karena meyakini bahwa
terdapat batas ultimate biosfer dalam menopang kehidupan sosial dan ekonomi
manusia di bumi sebagaimana digambarkan Porrit sebagai berikut :
Gambar 2 : Representasi Pilar Ekonomi dan Sosial yang Dibatasi
oleh Pilar Lingkungan
Namun pendapat Porrit disanggah, bahwasanya menempatkan
keberlanjutan lingkungan di atas kepentingan ekonomi dan sosial dalam kehidupan
manusia sulit diwujudkan oleh adanya kendala finansial, teknologi, dan
kapasitas sumberdaya manusia. Dialektika tersebut menyimpulkan bahwa ketiga
pilar disepakati sebagai dimensi keberlanjutan, namun keterkaitan ketiganya
perlu diintegrasikan dalam posisi tidak absolut, oleh karena dalam
kehidupannya, manusia dihadapkan pada keterbatasan dan kendala. Oleh
karenanya, konsep keberlanjutan yang dipahami sebagai integrasi tiga pilar
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling memperkuat disimpulkan dapat
menjadi basis dalam pengkajian pembangunan yang berkelanjutan.
Pandangan
tersebut juga diadopsi oleh IUCN, UNEP, dan WWF yang memposisikan kehidupan
manusia akan berada dalam batas dukungan lingkungan, dimana keberlanjutan
didefinisikan sebagai “perbaikan kualitas kehidupan manusia dalam batas
daya-dukung suportif ekosistem”.
Walaupun
secara nyata belum terdapat bukti ilmiah mengenai kehidupan yang tidak
berkelanjutan (unsustainable), namun disepakati bahwasanya peningkatan kualitas
kehidupan bukannya dapat dilakukan tanpa batas. Dalam hal ini, batas atau
limitasi yang dapat dikenali adalah unsur-unsur lingkungan yang dalam daur
kehidupan akan menjadi bagian dari proses peningkatan kualitas kehidupan
ekonomi dan sosial yang terintegrasi satu dengan lainnya. The Earth Charter
memperkuat pengertian tersebut sebagai proses pembentukan nilai dan arah menuju
penghargaan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, hak asasi manusia,
pemerataan ekonomi, dan perdamaian sebagai tanggungjawab terhadap generasi
mendatang.
Deskripsi
di atas memberikan kesimpulan bahwasanya pembangunan berkelanjutan merupakan
upaya terus-menerus yang merupakan bagian dari proses menuju kualitas kehidupan
generasi kini dan mendatang yang lebih baik secara ekonomi dan sosial dalam
batas daya-dukung suportif sumberdaya alam dan daya-tampung asimilatif
lingkungan.
Definisi Pembangunan Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable Urban Development)
Pemahaman
pembangunan kota yang berkelanjutan dilandasi oleh pengertian kota atau
perkotaan yang disepakati hingga kini. Berbagai definisi mengenai kota atau
perkotaan yang dikembangkan pada dasarnya bersifat kontekstual terhadap fungsi
dan pendekatan yang digunakan. Pendekatan geografis-demografis memandang kota
sebagai lokasi pemusatan penduduk yang tinggal bersama dalam ruang wilayah
tertentu dengan pola hubungan rasional dan cenderung individualistik dengan
ciri demografis relatif memiliki status pendidikan, ekonomi, dan sosial lebih
tinggi dibanding wilayah non-perkotaan. Pendekatan ekonomis memandang kota
sebagai pusat peningkatan produktivitas dan produksi barang dan jasa, pertemuan
lalu-lintas perdagangan dan kegiatan industri, serta tempat perputaran uang
yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang tinggi. Pendekatan fisik
memandang kota sebagai pusat dan sistem berbagai prasarana dan sarana untuk
memfasilitasi kehidupan dan kreativitas warganya. Pendekatan
sosiologis-antropologis memandang kota sebagai pemusatan penduduk dengan latar
belakang heterogen, lambang peradaban kehidupan manusia, pusat kebudayaan,
sumber inovasi dan kreasi, serta wahana untuk peningkatan kualitas hidup.
UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan kawasan perkotaan
sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Beberapa
pakar memberikan pengertian kota atau perkotaan sebagai area terbangun yang
berlokasi saling berdekatan, meluas dari pusatnya hingga ke daerah pinggiran
dan terdiri dari bangunan-bangunan permukiman, komersial, industri,
pemerintahan, prasarana transportasi, dan lain-lain (sumber
http://tumoutou.net/702_07134/71034_10.htm).
Karakteristik di atas dapat dirangkum sebagai ciri-ciri kehidupan
kota yang mendasari kepentingan untuk mewujudkan keberlanjutan kehidupan warga
kota, yakni :
- Merupakan konsentrasi
penduduk, dalam arti jumlah, kepadatan, dan pertambahan penduduk yang
lebih tinggi.
- Merupakan kawasan
terbangun yang lebih masif.
- Merupakan pusat produksi
dan produktivitas barang dan jasa.
- Bukan merupakan kawasan
pertanian dalam arti luas.
- Didominasi oleh permukiman
kota, bangunan komersial, bangunan industri, bangunan pemerintahan, dan
bangunan sosial.
- Dilengkapi oleh prasarana
dan sarana transportasi, ekonomi, dan sosial perkotaan.
- Dilengkapi oleh utilitas
air bersih, drainase, air kotor, persampahan, telepon, dan listrik.
- Penduduk kota cenderung
berlatarbelakang heterogen, berpendidikan relatif lebih tinggi, berstatus
ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat rasional dan individualistik, dan
memiliki inovasi dan kreativitas lebih maju.
Pengertian pembangunan kota berkelanjutan secara prinsipil selaras
dengan pengertian pembangunan berkelanjutan, dimana perspektif ruang difokuskan
pada ruang perkotaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Urban21 Conference (Berlin,
July 2000), pembangunan kota berkelanjutan diartikan sebagai upaya meningkatkan
kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang
akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan penurunan kualitas
lingkungan.
Dalam
konteks yang lebih spesifik, kota yang berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai kota yang direncanakan dengan
mempertimbangkan dampak lingkungan yang didukung oleh warga kota yang memiliki
kepedulian dan tanggung-jawab dalam penghematan sumberdaya pangan, air, dan
energi; mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan; dan
mengurangi pencemaran terhadap lingkungan (sumber :
http://74.6.239.67/search/cache?ei=UTF-8&p=%22city+designed+with+consideration%22&fr=my-myy&u=en.wikipedia.org/wiki/Sustainable_city&w=%22city+designed+with+consideration%22&d=T2eEhExISq_o&icp=1&.intl=us).
Sesuai
dengan karakteristik suatu kota, maka pembangunan kota berkelanjutan dapat
diartikan sebagai upaya terus-menerus untuk meningkatkan kualitas kehidupan
warga kota melalui peningkatan produktivitas di sektor sekunder dan tersier dan
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak dengan mempertimbangkan
dampak invasi dan intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan lingkungan
kota serta mensyaratkan keterlibatan yang tinggi dari warga kota terhadap upaya
penghematan konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian penurunan kualitas
lingkungan.
Oleh
karena kawasan perkotaan cenderung didominasi kawasan terbangun dan bukan
merupakan kawasan pertanian dalam arti luas, maka secara implisit memiliki ketergantungan
terhadap pasokan sumberdaya alam dari kawasan lainnya. Dengan demikian,
pembangunan kota berkelanjutan relevan dengan pengertian upaya mengurangi
ketergantungan terhadap pasokan sumber daya alam dari luar tersebut.
Konsep
Pembangunan Kota Berkelanjutan
Graham
Haughton and Colin Hunter (1994) menekankan tiga prinsip dasar pembangunan kota
berkelanjutan, yakni :
- Prinsip kesetaraan antar generasi (intergeneration equity) yang menjadi asas
pembangunan berkelanjutan dengan orientasi masa mendatang.
- Prinsip keadilan sosial (social justice) dalam kesenjangan akses
dan distribusi sumberdaya alam secara intragenerasi untuk mengurangi
kemiskinan yang dianggap sebagai faktor degradasi lingkungan.
- Prinsip tanggung-jawab transfrontier yang menjamin pergeseran
geografis dampak lingkungan yang minimal dengan upaya-upaya kompensasi.
Dalam konteks perkotaan diharapkan tidak terjadi pemanfaatan sumberdaya
alam dan penurunan kualitas lingkungan pada wilayah di luar perkotaan
bersangkutan secara berlebihan yang berdampak terhadap laju
pertumbuhannya.
Lokakarya Indonesia Decentralized
Environmental and Natural Resources Management Project (IDEN) dan Urban and Regional Development Institute (URDI)juga mengusulkan beberapa prinsip pembangunan kota berkelanjutan
di Indonesia yang diantaranya selaras dengan yang diutarakan oleh Graham
Haughton et al. Prinsip-prinsip berikut perlu
disesuaikan kembali dengan kondisi setempat (sumber : Lampiran F, Bahan
Lokakarya, Penguatan Aksi bagi Pembangunan Perkotaan secara Berkelanjutan di
Indonesia, Laporan Akhir Tahap Persiapan. Kerjasama antara Indonesia
Decentralized Environmental & Natural Resources Management Project (IDEN)
dan Urban and Regional Development Institute (URDI), serta partisipasi aktif
dari lembaga/pihak terkait lainnya, Desember 2004) :
- Memiliki visi, misi dan
strategi jangka panjang yang diwujudkan secara konsisten dan kontinyu
melalui rencana, program, dan anggaran disertai mekanisme
insentif-disinsentif secara partisipatif.
- Mengintegrasikan upaya
pertumbuhan ekonomi dengan perwujudan keadilan sosial, kelestarian
lingkungan, partisipasi masyarakat serta keragaman budaya.
- Mengembangkan dan
mempererat kerjasama dan kemitraan antar pemangku kepentingan,
antar-sektor, dan antar-daerah.
- Memelihara, mengembangkan,
dan menggunakan secara bijak sumberdaya lokal serta mengurangi secara
bertahap ketergantungan terhadap sumberdaya dari luar (global) dan
sumberdaya tidak terbarukan.
- Meminimalkan tapak ekologis (ecological
footprint) suatu kota dan memelihara dan bahkan meningkatkan daya dukung
ekologis setempat.
- Menerapkan keadilan sosial
dan pengembangan kesadaran masyarakat akan pola konsumsi dan gaya hidup
yang ramah lingkungan demi kepentingan generasi mendatang.
- Memberikan rasa aman dan
melindungi hak-hak publik.
- Pentaatan hukum yang
berkeadilan.
- Menciptakan iklim yang
kondusif yang mendorong masyarakat yang belajar terhadap perbaikan
kualitas kehidupan secara terus-menerus.
Terkait dengan pilar pembangunan berkelanjutan, konsepsi
pembangunan kota berkelanjutan juga berlandaskan pada empat pilar utama, yakni
dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang didukung oleh pilar governance.
Gambar 3 : Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan
Sumber : Forum Sustainable Urban Development (SUD)
Pilar governance sebagai perangkat pengaturan,
pelaksanaan, dan kontrol dielaborasi sebagai prinsip analisis 5R,
meliputi :
- Kewajiban dan tanggungjawab (responsibility) untuk melaksanakan
dan mengimplementasikan pembangunan kota
berkelanjutan.
- Hak (right) untuk menjalankan kebijakan dan program
pembangunan kota keberlanjutan yang menjadi kepentingan publik secara
luas.
- Risiko (risk), sebagai pertimbangan pengambilan
keputusan pembangunan kota berkelanjutan kini dan pada masa mendatang.
- Manfaat (revenue) penyelenggaraan kebijakan dan program
pembangunan kota berkelanjutan bagi publik kini dan pada masa mendatang.
- Hubungan (relation), sebagai manifestasi koordinasi para
pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan perwujudan pembangunan kota
berkelanjutan.
Munasinghe
mengelaborasi elemen pokok ketiga pilar, yakni pilar ekonomi oleh elemen
pertumbuhan, efisiensi, dan stabilitas; pilar sosial oleh elemen pemberdayaan,
peranserta, dan kelembagaan; dan pilar lingkungan oleh elemen keanekaragaman,
sumberdaya alam, dan pencemaran.
Gambar 4 : Diagram Elemen Pokok Pembangunan Berkelanjutan
Sumber
: Sumber: Munasinghe,
M., Sustainable Development Triangle, ‘Sustainable Development’, edited by
Cleveland, C. J. (2007).
Forum
SUD mengelaborasi ketiga pilar menurut elemen yang relatif setara dengan yang
dikembangkan Munasinghe. Pilar ekonomi dielaborasi sebagai elemen penggunaan
sumberdaya alam secara bijaksana, mendorong pemanfaatan ekonomi lokal,
pengembangan nilai tambah ekonomi, dan pengutamaan sumber daya lokal dibanding
impor. Pilar sosial dielaborasi menurut elemen jaminan kehidupan, pemerataan
akses terhadap pelayanan dasar, demokrasi dan partisipasi, interaksi sosial
yang positif, dan berkembangnya nilai (human values) bagi kehidupan yang
berkualitas. Pilar lingkungan dielaborasi menurut elemen kuantitas dan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan dan keanekaragaman.
Dalam konteks kota dan perkotaan, maka pembangunan berkelanjutan
pada hakekatnya memposisikan ketiga pilar untuk saling memperkuat (mutual reinforcing)
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Kota sebagai ekosistem
binaan relatif tidak memiliki sumberdaya alam yang memadai untuk mendukung
kehidupannya secara mandiri serta menghasilkan limbah yang lebih besar oleh
konsentrasi penduduk dan aktivitasnya, sehingga threshold daya-dukung suportif
dan daya-tampung asimilatif secara internal cenderung terlampaui oleh
perkembangan dan pertumbuhan kota. Dengan demikian konsep pembangunan kota
berkelanjutan perlu mempertimbangkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan daya-dukung dan daya-tampung melalui upaya prevention, proses,
minimisasi, substitusi, dan rekayasa lainnya serta keterkaitan dukungan dari
wilayah lain. Oleh karena dimensi lingkungan tidak selalu berposisi sebagai
variabel independen dalam menciptakan kualitas kehidupan kota, maka dimensi
sosial menjadi penting dalam membangun arah keberlanjutan melalui proses social
engineering dalam manifestasi peran serta masyarakat.
Sebagai
suatu proses, pembangunan kota berkelanjutan merepresentasikan progres
perubahan secara bertahap yang berlangsung secara kontinyu (loop system) dengan
arah menuju kualitas yang lebih baik berdasarkan feedback tahapan yang dilalui.
Christopher A. Haines menyatakannya sebagai proses transformasi kota dengan benchmark
yang mengindikasikan terjadinya perubahan, yakni konservasi sumberdaya alam,
rehabilitasi untuk konservasi dan preservasi, menyediakan pelayanan
transportasi publik, dan mengendalikan urban sprawl. Transformasi menuju
pembangunan kota yang berkelanjutan oleh Forum SUD Indonesia diterjemahkan
melalui benchmark yang lebih tegas perbedaannya. Jika pembangunan pada awalnya
berorientasi secara penuh terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan keberlanjutan ekologis, dimana pada daur selanjutnya
diimbangi dengan keadilan sosial dan berikutnya dengan pelestarian budaya.
Sebagai proses tranformasi yang kontinyu, maka daur pembangunan akan mengalami
improvement terhadap nilai-nilai keberlanjutan secara terus-menerus. Walaupun nilai
keberlanjutan secara ideal tidak dapat ditetapkan, namun esensi dari proses
keberlanjutan adalah nilai-nilai penghargaan yang lebih baik terhadap
peningkatan kualitas kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Gambar berikut
mengilustrasikan progres nilai-nilai keberlanjutan yang selayaknya dicapai pada
setiap fase pembangunan.
Tabel
1 : Transformasi Pembangunan Kota Berkelanjutan