Jumat, 01 Juni 2012


Eco-Settlement (Pemukiman Berwawasan Lingkungan)
Sumber : Joshua D. Mosshart dan UNEP (United Nations Environment Programme)
Diterjemahkan dan dikemas ulang oleh: Luqman S. Manggala | GreenCitarum

Description: http://www.greencitarum.org/_/rsrc/1335767200059/rural-eco-settlement/eco%20sttlement.jpg?height=178&width=320
Richard Register, pelopor gerakan eco-city (kota berwawasan lingkungan) pernah menulis,

 ". . . kami mengajar bagaimana untuk membangun, tapi apa yang kita bangun mengajarkan kita bagaimana untuk hidup."
(Register & Peaks, 1997)

Pada dasarnya manusia yang membangun lingkungannya, tapi sebenarnya lingkungan kita lah yang mengajarkan kita cara untuk hidup di muka bumi ini. Dari lingkungan yang telah kita bangun, kita dapat belajar mengenai efek dari polusi, kualitas udara yang buruk, konsumsi sumber daya, perubahan iklim, ketidakseimbangan sosial ekonomi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan permasalahan limbah.
Beberapa dekade terakhir ini kita, khususnya penduduk kota, dapat melihat di kaki langit dipenuhi dengan energi intensif dari gedung-gedung pencakar langit komersial yang mencerminkan kekuatan modal privat dan korporasi global, di kala perbatasan dan lahan kosong terkapar pada kekecewaan masyarakat atas pemukiman (settlement) yang tidak formal. Pemukiman yang kita bahas tersebut merupakan zona terbaik akan apa yang harus kita pelajari mengenai hal-hal yang tidak sesuai dari suatu pemukiman. Lalu, hal apa yang harus kita pelajari untuk menemukan konsep pemukiman yang berkelanjutan?
Pemukiman yang berkelanjutan, sebut saja dengan istilah Sustainable Settlement, memiliki maksud sebagai suatu pemukiman yang mampu menyokong keberlangsungan kehidupan yang ada di dalamnya. Salah satu tantangan terbesar kita adalah bagaimana mempelajari cara-cara mengeliminasi ketidak-bersinambungan dari lingkungan yang telah kita bangun dan bagaimana membangun cara-cara untuk memperbaharui kota maupun desa kita sehingga akan ada tempat dimana setiap orang dapat belajar dari pengalaman untuk hidup dalam kedamaian, kesehatan, harmoni, dan kegembiraan. Idealisme ini disebut “eco-settlement” atau pemukiman berwawasan lingkungan, dan merupakan dasar pandangan dan pembelajaran untuk menjadi panduan atas tantangan-tantangan tersebut.

Apa itu Eco-Settlement dan bagaimana mewujudkannya?
Konsep dasar eco-city dan eco-village, yakni kota dan desa berwawasan lingkungan, dijelaskan di bawah ini mulai dari kepala hingga jantung para stakeholder, melalui 3 pilar ESD (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya). Konsep-konseep ini diambil dari “Herbert Giradet’s Creating Sustainable Cities” dan sumber-sumber kunci lainnya. Setiap konsep didasarkan pada pinsip inti eco-settlement termasuk integritas ekologi, gaya hidup yang berkelanjutan (sustainable life style), tata kelola yang baik (good governance), dan pemeliharaan diversitas budaya dan harmoni (cultural diversity and harmoony).
Kunci tantangan para edukator adalah untuk membantu perkembangan budaya desa dan kota, baik secara regional maupun global, yang menyelaraskan urbanisasi skala besar dengan pembangunan yang berkelanjutan, pelestarian sumber daya alam dan perlindungan lahan pertanian. Budaya kota akan memerlukan suatu kepekaan inter-generasi atas keberlanjutan konsep ini, sehingga dapat memperoleh pengetahuan atas ilmu dan praktik yang sustain yang dapat diwariskan generasi ke generasi.
Giradet mendefinisikan kota yang mampu menopang kehidupan secara sustain adalah, 
“Kota yang terorganisasi sehingga memungkinkan para penduduknya untuk memenuhi kebutuhan mereka dan meningkatkan kehidupan yang layak tanpa merusak alam atau mengancam kehidupan penduduk lainnya, untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang”. (1999:13). 
Hal tersebut sangat krusial dimana eco-city menciptakan dan memelihara hubungan dan relasi dengan wilayah pedalaman: 
“Bentuk adaptasi suatu kota terhadap wilayah pedalamannya sangat mencerminkan keberlangsungan ataukah ketimpangan dari suatu kota itu sendiri”.

Konstruksi dan Bangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Buildings and Construction)
Bangunan dan infrastruktur yaang telah dibangun adalah dasar dari bentuk, fungsi, dan nilai-nilai dari pemukiman masyarakat. Sebagaimana definisi eco-settlement yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan sekedar bagian total, tapi lebih pada sekumpulan bangunan yang ramah lingkungan. Untuk itu, proses menciptakan, mengoperasikan, memelihara, membaharui, dan menghancurkan lingkungan yang telah dibangun, kesemuanya harus berkontribusi positif untuk menciptakan kualitas pemukiman berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengaruh bangunan terhadap pembangunan berkelanjutan sangat mendalam. Secara global, sektor tersebut bertanggungjawab atas lebih dari sepertiga dari konsumsi sumber daya, dan memproduksi sekitar sepertiga dari seluruh limbah dan emisi gas rumah kaca. Dampak pengaruh sektor tersebut juga menjadi kesempatan utama bagi kita untuk dapat menanggulangi perubahan iklim dan kapasitas kehidupan bumi yang saat ini telah melampaui batas. Mengapa dampak negatif dari sektor bangunan dikatakan sebagai kesempatan? Karena sektor bangunan adalah sektor yang masih dapat secara intensif dikendalikan oleh manusia, sehingga konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan dari sektor tersebut, yang dikatakan sebesar sepertiga itu berpotensi untuk dapat kita kendalikan menjadi dampak yang positif.
The Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) – Diskusi Panel Antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim – sebagai contoh, negara-negara yang sektor pembangunannya memberikan potensi terbesar dibandingkan sektor lainnya, berkewajiban untuk mencapai pengurangan besar dalam emisi gas rumah kaca. Diskusi tersebut mengestimasi sektor bangunan dapat mengurangi emisinya hingga 30% pada level tanpa biaya atau tabungan netto finansial pada ekonomi (IPCC 2006). Bangunan dapat juga dirancang untuk beroperasi dalam cara-cara yang menyajikan layanan bersifat ekologis seperti pembersihan polusi, penyediaan energi, dan penggunaan ulang sumber daya yang semestinya dapat terbuang.
Sektor tersebut juga merupakan industri tunggal terbesar yang mempekerjakan lebih dari 111 juta orang karyawan dan akuntan hingga 10% pekerja pada level suatu negara (UNEP, 2007). Dikarenakan besarnya waktu yang kita gunakan di dalam dan di sekitar bangunan-bangunan tersebut, rancangan, pemeliharaan, dan operasional bangunan dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusianya. Bangunan juga menentukan dan memperkuat identitas budaya.
Ketika sektor bangunan sangat mendasar bagi pilar-pilar lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam pembangunan yang berkelanjutan, tidak ada aktivitas bangunan kecuali kontribusi netto-nya di ketiga lingkup tersebut adalah lebih positif ketimbang siklus hidup bangunan itu sendiri. Dari perspektif ini, sangat penting bagi para edukator untuk tidak rancu akan istilah eco-efficientgreenpositive, dan sustainable yang mengacu pada level-level berbeda dari kinerja bangunan, yang akan sering Anda temui dalam artikel ini.

Efisiensi Bangunan Berwawasan Lingkungan (Eco-Efficient Building)
Efisiensi ketika diaplikasikan pada kinerja bangunan yang berkelanjutan biasanya berhubungan dengan efisiensi sumber daya. Tujuan dari efisiensi sumber daya secara umum termasuk:
  • Meminimalisir jumlah sumber daya yang digunakan secara relatif terhadap ukuran besar bangunannya; 
  • Memaksimalkan kepraktisannya dimana sumber daya dapat diperbaharui, digunakan ulang, dan atau didaur ulang; 
  • Meminimalisir jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk menyajikan kenyamanan temperatur dan pelayanan di dalam bangunan; 
  • Proporsi sumber daya yang terbuang selama proses konstruksi, pembaharuan, dan penghancuran.
Dalam bidang bangunan yang berkelanjutan dan konstruksi energi, air dan efisiensi material adalah yang paling sering diperkenalkan.
Efisiensi Energi
Efisiensi Energi diperkenalkan karena sektor bangunan harus mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan cara mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Dengan pengurangan energi, permintaan terhadap bangunan juga meningkatkan kelangsungan hidup finansial dan pengurangan biaya operasional dari penggunaan sistem energi yang dapat diperbaharui. Oleh karena bangunan memakan lebih dari 30% total konsumsi, pengurangan permintaan akan penggunaan energi melalui bangunan yang efisien sumber daya dapat memberi kesempatan besar untuk berhemat. Bangunan baru dan memperkuat bangunan yang telah ada untuk efisiensi energi juga memberikan potensi terbesar pengurangan emisi gas rumah kaca; pengurangan yang mana dapat dicapai dalam penghematan ekonomi netto.
Tujuan tertinggi kinerja dari perspektif efisiensi energi adalah the passive-building. Pendekatan bangunan mengenai apa yang disebut passive bertujuan untuk menciptakan atau menyesuaikan bangunan sehingga energi yang berhubungan dengan dampak lingkungan dari bangunan-bangunan itu secara keseluruhan yang sepenuhnya terlepas dari kombinasi efisiensi operasional dan penggunaan energi yang dapat diperbaharui.
Efisiensi Air
Meskipun air merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, cara air digunakan dalam suatu bangunan seringkali tidak ramah lingkungan karena umumnya konsumsi air lebih cepat daripada kemampuan untuk memulihkan air itu sendiri. Seringkali air selama penggunaannya menjadi sumber polusi yang dapat berdampak serius pada kesehatan jika air tersebut tidak dikelola secara baik, dimana pengelolaan air itu sendiri biayanya sangat mahal. Penyakit yang berasal dari air masih menjadi salah satu penyebab terbesar penyakit dan kematian di masyarakat. Penggunaan air secara efisien sangat penting untuk menjamin ketersediaan pasokan air, mengurangi risiko penyakit, biaya pengolahan air, dan untuk meningkatkan kelangsungan finansial dari strategi terintegrasi seperti air tadah hujan dan penanggulangan air secara biologis di lapangan. Memanaskan air juga merupakan salah satu sumber konsumsi energi yang sangat tinggi pada beberapa tipe bangunan, khususnya rumah. Oleh karena itu, berhemat air dapat sangat menolong efisiensi energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Efisiensi Material
Merujuk pada sejumlah estimasi atas aktivitas bangunan, tercatat sekitar 40% dari total konsumsi sumber daya alam per tahun adalah konsumsi material yang dilakukan dalam pembangunan fisik. Hal itu sudah termasuk 25% penggunaan kayu dalam setahun (Graham 2003). Dampak lingkungan dari konsumsi material dan industri manufaktur adalah sangat signifikan dalam suatu negara yang memiliki pertumbuhan urbanisasi yang sangat cepat dikarenakan tingginya tingkat dan volume konstruksi baru.
Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan yang memproduksi material bangunan telah mengembangkan efisiensi sumber daya dari proses produksi mereka dengan menerapkan metode-metode seperti, penilaian siklus hidup. Hal tersebut juga telah meningkatkan penerapan standar eco-labeling pada material-material di beberapa negara. Prinsip rancangan yang dapat diadaptasi sangat penting untuk diikuti guna menjamin terwujudnya bangunan yang efisien material.
Bangunan ‘Hijau’ ('Green' Buildings)
Istilah bangunan ‘hijau’, kita sebut saja Green Buildings, memiliki arti bangunan yang tidak hanya efisien sumber daya tetapi juga mampu meningkatkan kesehatan dan kehidupan yang layak bagi penghuninya, mengurangi atau meminimalkan limbah dan polusi lingkungan, menggunakan bahan-bahan material yang bersertifikasi lingkungan dan atau tergabung dengan sistem energi yang dapat diperbaharui. Cakupan isu-isu dari Green Buildings saat ini umumnya ditentukan oleh skema pemeringkatan, seperti : LEED (Amerika), BREEAM (Inggris), HQE (Perancis), dan Green-Star (Australia). Secara umum, Green Buildings bercita-cita untuk meminimalkan dampak lingkungan dari siklus hidup suatu bangunan. Aspek ekonomi dan sosial dari pembangunan yang berkelanjutan umumnya bukan suatu perhatian yang eksplisit. Green Buildings juga lebih berfokus pada efisiensi berwawasan lingkungan dan oleh karena itu membatasi dampak negatif dari suatu bangunan.
Oleh karena cepatnya kerusakan ekoosistem penyokong hidup dan tingkat perubahan iklim, ada kebutuhan akan suatu bangunan tidak hanya mampu membatasi faktor yang dapat mengancam tapi juga mampu memperbaiki dan memperbaharui sistem pelayanan berwawasan lingkungan. Singkat kata, suatu bangunan harus memiliki pengaruh positif netto jika memang dimaksudkan untuk suatu pemukiman yang berwawasan lingkungan.
Bangunan Positif (Positive Buildings)
Bangunan positif, kita sebut saja Positive Buildings, pada kenyataannya adalah suatu bentuk rancangan, konstruksi, dan kehidupan yang lebih tua dari teknik industri modern. Banyak bangunan tradisional di daerah-daerah yang sebenarnya telah mengikuti prinsip-prinsip yang bertujuan tidak hanya pada pengaruh ekologis yang positif tetapi juga pada dampak psikologis, sosial, dan spiritual yang positif.
Dalam paradigma Positive Buildings disadari sebagai aspek saling ketergantungan dari sistem sosial-ekologis, yang maknanya proses alam yang dapat diharmonisasi dan dapat memberi manfaat pada sistem kehidupan. Bangunan positif bertujuan untuk menciptakan lebih banyak sumber daya daripada yang dikonsumsi, memperlakukan dan menggunakan ulang daripada menghasilkan sampah, menyediakan barang dan jasa yang berwawasan lingkungan, dan mendorong terwujudnya kesehatan dan kehidupan yang layak. Dengan tujuan-tujuan ini dalam pola pikir masyarakat, efisiensi maupun Green Buildings hanyalah sebuah metode, tapi bukan akhir dari perjuangannya untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Dengan maksud membangun suatu cara yang positif sangat penting untuk menggunakan kombinasi antara biologis, ekologis, dan strategi teknis untuk beroperasi dalam cara yang bersimbiosis (saling menguntungkan). Ilustrasi sederhana dari pendekatan positif adalah retikulasi air limbah melalui atap atau dinding halaman dimana secara simultan menjernihkan air hujan untuk dapat digunakan ulang, menutrisi halaman kebun yang dapat menyediakan habitat dan kehidupan yang layak secara psikologis dan melindungi bangunan rumah.
Strategi seperti itu dapat juga menghemat uang dengan mengurangi biaya energi dan pemeliharaannya, serta meningkatkan kesehatan dan produktivitas masyarakat.Positive Buildings mencari cara untuk berbaur secara sosial, ekologis, dan sistem ekonomi dalam cara yang saling menguatkan dan saling menguntungkan. Untuk itu, hal tersebut merupakan bentuk dasar dari bangunan yang mengembangkan prinsip eco-settlement. Tidak akan ada aktivitas bangunan yang berkelanjutan kecuali mampu secara netto berkontribusi positif terhadap siklus hidup suatu lingkungan.
Bangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Buildings)
Sebuah pembedaan biasanya dibuat antara istilah sustainable construction (prosesnya) dan sustainable buildings (hasilnya). Sustainable construction sering digunakan sebagai istilah umum untuk menjelaskan semua tipe bangunan termasuk struktur bangunan industri dan sipil. Bagaimanapun konstruksi yang berkelanjutan sangat membantu dalam pemikiran dari bangunan atau konstruksi yang berkelanjutan sebagai sebuah proses peningkatan yang terus-menerus dalam sektor bangunan dari perilaku yang tidaksustain ke perilaku yang positif. Dari sudut pandang ini, sustainable construction dijelaskan sebagai, 
“...sebuah proses holistik yang bertujuan untuk mengembalikan dan memelihara keharmonisan antara alam dengan lingkungan yang diciptakan, dimana menciptakan pemukiman yang menegaskan martabat manusia dan memperkuat ekuitas ekonomi.” (Du Plessis, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar