Jumat, 01 Juni 2012


Mencapai kota layak huni melalui konsep kota ekologis
Penataan ruang perkotaan bertujuan untuk menciptakan lingkungan bermukim perkotaan yang berkualitas, dimana kategori ‘lingkungan berkualitas’ berkaitan erat dengan budaya setempat. Menurut Danisworo dalam Samadhi (2005), suatu lingkungan bermukim perkotaan dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi tiga aspek yaitu fungsional, visual dan lingkungan. Ketiga aspek ini saling berintegrasi membentuk jaringan kota ekologis yang berkelanjutan. Dilain sisi, kota Ekologis juga berhubungan dengan tiga dinamika pokok yaitu dinamika ekonomis, teknis-(politis)serta sosio cultural. Ketiga dinamika perkotaan tersebut bersifat dinamis karenaberfokus pada sebuah proses untuk jangka waktu yang akan datang (Future). Oleh sebab itu, konsep penataan ruang perkotaan harus didasarkan pada pemahaman terhadap prinsip sapta pilar konsep penataan ruang perkotaan yang berwawasan masa depan yaitu Environment /ecology (lingkungan), Economy, Equity(pemerataan), Engagement (peranserta), Energy, Etika dan Estetika (EkoBudihardjo,1999). Fragmentasi penataan ruang perkotaan yang berwawasan lingkungan merupakan kohesi linear antar ketujuh prinsip dasar tersebut, dimana diktum kota ekologis menyiratkan adanya struktur perekonomian yang kuat, lingkungan yang serasi, tingkat sosial yang relative setara penuh keadilan, kadar peran serta masyarakat yang tinggi, serta konservasi energi yang terkendali dengan baik. Sedangkan aspek etika dan estetika merupakan pengejewantahan dari jati diri yang dapat memberikan citra positif dan unik bagi penataan ruang perkotaan saat ini. Integralisasi ke tujuh prinsip dasar ini merupakan landasan fundamental penataan ruang perkotaan yang ekologis, dimana kota merupakan muara dari berbagai dinamika dan kompleksitas masalah yang harus diatasi dalam konteks satu-kesatuan ekosistem perkotaan terpadu. Disisi lain, dinamika perkembangan kota yang sangat dinamis, menjadikannyasebagai magnet penarik bagi penduduk dikawasan sekitarnya untuk bermukim dikawasan perkotaan yang berimplikasi pada tingginya tekanan terhadappemanfaatan ruang kota dan kondisi lingkungan kota yang ada. Ketersesakan kotaakibat fenomena rural-urban (urbanisasi) serta konversi alih fungsi lahan yangtinggi dan simultan menyebabkan degradasi kritis lingkungan perkotaan menjadi semakin tinggi. Demikian juga fenomena perkotaan yang terjadi dalam perkembangan Kota Denpasar sebagai kota metro. Isu perubahan pemanfaatan guna lahan dengan peruntukan perumahan yang terus bertambah cenderungmengakibatkan terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali. Selain itu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk sehingga kebutuhan akan infrastruktur pun meningkat, kurangnya dukungan sistem transportasi dalam mengatasi pertumbuhan aktivitas pelanggaran yang tidak terkendali di sekitar area hijau,sungai, dan garis pantai; menurunnya kualitas pelayanan utilitas (air bersih, limbahpadat, limbah cair, dan pembuangan); serta kurang terintegrasinya struktur dan pola pemanfaatan ruang kota Denpasar menyebabkan tuntutan beban ekologis yang disandang oleh Kota Denpasar semakin bertambah.Oleh sebab itu pemahaman terhadap kearifan lokal (konsep, tata nilai religius,orientasi spiritual dsb) dalam membentuk karakter penataan ruang kota ekologis juga harus menjadi pertimbangan mutlak sebagai symbol akselerasi hubungan timbal balik manusia-lingkungan-Tuhan. Konsepsi penyelarasan antara kosmos (bhuwana alit bhuawana agung) yang kemudian secara lebih praktikal lebih dirumuskan dalam konsepsi hubungan harmonis antara manusia-lingkungan-Tuhan yang terangkum dalam Tri Hita Karana, menjadi dasar falsafah penataan ruang diBali (Samadhi, 2004). Pemahaman terhadap aspek keselarasan hubungan manusiadan lingkungan dalam terminology palemahan (ruang aktivitas) menuntut kearifan dalam pengelolaan lingkungan baik alamiah ataupun buatan/artefak kota dalam konteks penataan ruang perkotaan berkelanjutan. Penataan ruang kota juga harus dapat mengakomodasi aktivitas masyarakatnya (Human activity) dalam konteks penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang terbuka publik(open space) di kawasan perkotaan. Berkatitan dengan itu, konsep eco-citymerupakan payung metafora yang merangkum beragam konsep urban-ecological dengan tujuan untuk mencapai Kota Denpasar yang berwawasan lingkungan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar